Friday, February 22, 2008

MENGHIASI DIRI DENGAN SENYUM IMAN

Filosof Nietzche adalah orang pertama yang berteriak : “Tuhan telah mati”. Termasuk tuduhan : “Tuhan tidak adil” adalah terlalu biasa buat telinga manusia. Orang sering merasa “Tuhan telah mati” karena disaat-saat sulit, Tuhan tidak segera turun tangan. Tuhan, menyebutkan diri-Nya dengan tegas; diri-Nya kekal dan terus menerus terjaga, tidak pernah mengantuk, tidak pernah tertidur, apalagi mati. Yang mati itu adalah ‘hati’ manusia yang ‘kosong’ dari harapan akan kebaikan-Nya. Yang tidak adil itu adalah ‘persepsi’ dan ‘prasangka’ manusia yang terjauhkan dari hidayah-Nya dan hanya melihat Tuhan cuma pandai ‘bermuka masam’ tetapi tidak pandai ‘tersenyum simpul’. Yang merasakan Tuhan ‘mengantuk’ dan ‘tertidur’ adalah ‘kealpaan’ manusia yang tidak sudi mengambil pelajaran dari suatu peristiwa.

Setiap peristiwa pasti memiliki ‘manfaat tersembunyi’. Kadang, tampak tak adil di permukaan mata, tetapi siapa tahu justru ia menyimpan ‘ keadilan tersembunyi’ yang hanya bisa diketahui di belakang hari. Sungguh, dalam keadaan seperti itulah Tuhan ingin menunjukkan siapa yang ‘buta’ dan siapa yang ‘melihat’, siapa yang ‘tertidur’ siapa yang ‘ terjaga’ siapa yang ‘ bermuka masam’ dan siapa yang ‘tersenyum simpul’. Patutlah kita sekarang untuk merenungkan diri sampai dim ana tuntutan iman yang dapat kita laksanakan dalam hidup ini. Sesuai dengan kadar iman yang kita miliki. Renungan demikian telah dialami pula oleh Nabi Ibrahim sebagaimana tersebut dalam QS. Al-An’am 75-79, yang berbunyi; “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) dilangit dan dibumi, dan (Kami memperlihatkan-Nya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata : “saya tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: “sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat”. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: “inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”, maka tatkala matahari itu lebih terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar dan aku bukan termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”.
Salah satu kontribusi psychology contemporer yang kini banyak dikaji oleh kalangan agamawan adalah temuan mengenai perbedaan cara kerja, otak bagian kiri, otak bagian kanan. Cara kerja otak kiri cenderung Linear, Matematis, Kuantitatif, Repetitif dan melihat persoalan secara parsial. Sementara itu otak kanan bekerja secara Inovatif, Contemplative, Sintetis dan melihat persoalan secara Holistik atau Komprehensif. Nabi Muhammad SAW yang tumbuh dengan keseimbangan kemampuan otak kiri dan otak kanan yang mengarahkannya menjadi manusia yang Realistis, karena beliau bekerja keras seperti manusia lainnya. Pada saat yang sama beliau juga punya kesanggupan untuk melawan gravitasi fisikal. Dengan cara berkontmplasi dan senantiasa mendekatkan diri kepada Alloh SWT sehingga nyaris secara sempurna, hanya dalam waktu relatif singkat, 25 tahun dalam senyum dan perjuangannya. Yang hampir-hampir saja menyeret Nabi pada sikap frustasi dan putus asa, akan tetapi dengan sikap jiwa yang selalu berusaha untuk bersih, senyum dari interest pribadi, yang dipertajam dengan kontemplasi dan dzikir kepada Alloh maka akhirnya beliau memperoleh visi spiritualitas yang mencerahkan hidup.
Dalam kehidupan kita yang penuh kesibukan ini, patutlah kita merenungkan diri, sampai dimana tuntutan iman yang baru kita laksanakan. Sebagai pedoman dari kadar iman yang kita miliki, marilah kita simak keterangan Alloh SWT dalam Al-Qur’an: “Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan diantara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih cepat berbuat kebaikan dengan izin Alloh. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar”. (QS. Fathir: 32).
Ayat tersebut, disamping menjelaskan tingkatan iman yang dimiliki seseorang; juga merupakan dorongan bagi orang yang beriman untuk selalu meningkatkan diri sampai mencapai tingkatan iman yang sempurna. Meningkatkan iman berarti meningkatkan kerja atau amal shalih, dimana pada kerja keras atau amal shalih itulah terletak kwalitas manusia, dan kepada, mereka pula dipercayakan Alloh untuk mengatur alam semesta ini. Ada tiga tingkatan mukmin yang disebut dalam ayat tersebut ; Pertama, tingkatan Zhalimun Li Nafsihi. Kedua, tingkatan Al-Muuqtashid. Ketiga, tingkatan Sabiqun Bi Al-Khairat.
Tingkatan iman yang paling rendah ialah tingkatan Zhalimun Li Nafsihi, orang yang aniaya atas dirinya, yaitu orang yang tidak setia dengan apa yang dikatakannya, dan apa yang diyakini oleh hatinya. Perbuatannya tidak sama dengan perkataannya. Dalam kehidupannya sehari-hari, banyak bicara dan rencana, tetapi sedikit berbuat dalam pelaksanaannya. Banyak ancaman Al-Qur’an atas sikap yang demikian diantaranya ayat yang berbunyi : “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat ?. Amat besar kebencian di sisi Alloh bahwa kamu katakan apa yang tidak kamu kerjakan”. (Asshaf, ayat 2-3).
Tingkatan iman yang kedua ialah tingkatan Al-Muqtashid, yaitu seorang mukmin yang dalam beramal, membatasi diri pada hal-hal yang fardhu atau yang diwajibkan saja. Ia mengerjakan shalat, puasa, berzakat dan naik haji. Akan tetapi tidak terpanggil untuk melakukan amal-amal sosial yang menguntungkan kemanusiaan. Setiap pekerjaannya selalu dihubungkannya dengan keuntungan pribadi. Ia tidak mau melakukan hal-hal yang tidak dilihatnya beruntung buat dirinya.
Tingkatan iman yang ketiga ialah yang disebut dengan Sabiqun Al Khairat, yaitu seorang mukmin yang dalam beramal dan bekerja tidak membatasi diri [ada hal-hal yang fardhu saja, akan tetapi selalu bekerja dan terlibat dalam usaha-usaha kemanusiaan. Dalam masalah ibadah, selain yang fardhu, ia juga melakukan ibadah sunnah, seperti shalat sunnah, puasa sunnah dan sebagainya. Dalam masalah zakat, selain yang diwajibkan, ia juga tidak segan berinfak. Demikian pula dalam segala kegiatannya, ia selalu bekerja keras dalam usaha-usaha yang membawa kepada peningkatan kwalitas diri dan kwalitas masyarakat lingkungannya. Tingkatan iman yang demikian itulah yang paling tinggi disisi Alloh SWT.

No comments: