Friday, February 22, 2008

MENGELOLA MARAH DENGAN SENYUM

Rasululloh SAW pernah bernasehat, bahwa segala sesuatu tidak mungkin dapat diselesaikan dengan marah atau bersikap emosional. Bayangkan, pekerjaan apa yang bisa dilakukan dengan marah ?, pasti tidak ada. Segala aktifitas dan kegiatan seperti, ibadah, muamalah, pekerjaan kantor, kegiatan bisnis, kegiatan ilmiah semuanya akan gagal apabila dikerjakan dengan kemarahan, bahkan bisa rusak secara total. Sukses atau gagalnya usaha seseorang, tergantung pada kemampuan dari orang itu untuk mengelola emosi atau nafsu (amarah) nya. Bila ia mampu mengelola nafsu dan emosinya, maka sukses telah berada ditangannya. Sebaliknya bila ia tidak dapat mengelola nafsunya, maka kegagalan telah membelenggu dirinya.

Dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 134; “Yaitu orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang, Alloh menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. Manusia dengan segala sifat-sifat kemanusiaannya tidak mungkin menghindari marah. Bahkan marah, sudah menjadi bagian logis dari kehidupan manusia. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang bergaul dan berinteraksi dengan sesamanya. Pergaulan dan interaksi sosial tidak selalu dapat dilangsungkan dengan manis. Ada kalanya mendatangkan rasa suka, tetapi tidak jarang justru melahirkan kejengkelan serta kekecewaan. Pada tingkat tertentu, rasa jengkel dan kecewa mudah berubah menjadi marah. Oleh karena itu, timbulnya marah adalah justru konsekwensi dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial.
Namun demikian, kita harus menyadari bahwa marah mempunyai daya detruksi yang besar. Karena marah, orang bisa kalap dan membunuh teman bahkan saudaranya. Lantaran marah, orang bisa menganiaya orang lain. Pada pengertian yang lebih ‘dingin’, marah bisa membuat orang memutuskan hubungan silaturahmi. Marah bisa menyebabkan interaksi menjadi panas dan tegang. Lantaran marah pula, oarang kadangkala lupa duru, lupa posisi dan lupa mengontrol sikap dan prilakunya. Memang marah tidak bisa ditampik, dihindarkan atau dihilangkan sama sekali. Marah tidak bisa dibunuh dan memang tidak perlu dibunuh. Tetapi, marah bisa dikelola sehingga dapat terkendali atau terkontrol.
Pertama, Agama Islam mengajarkan kepada kita tentang pentingnya kesabaran. Ajaran kesabaran adalah kekuatan pengimbang dan pengendali manusia agar tidak memuntahkan kemarahan secara berlebihan. Dalam sebuah hadist Rasululloh SAW bersabda, “Orang kuat bukanlah yang bisa menjatuhkan seseorang ke tanah, namun orang yang bisa mengendalikan diri ketika dia marah”. (HR. Muttafaq ‘alaih).
Hadist diatas menegaskan bahwa kekuatan seseorang dilihat dari kemampuan internalnya untuk mengendalikan diri ketika marah. Karena sebagai bagian dari nafsu, marah mesti dikontrol sehingga tidak mendatangkan bahaya tambahan yang bersifat eksternal, hubungan antar manusia. Kesabaran dan ketabahan yang sangat kuat, adanya ketaatan dan kemurnian jiwa, adanya kecerdasan emosional dan yang terpenting adalah ketafakuran dalam mengelola amarah.
Kedua, tafakur juga akan bermanfaat untuk mengelola kemarahan karena marah yang berlebihan dan berdaya destruktif, lebih bermuatan emosi dan akibatnya mematikan rasa tafakur. Berkaitan dengan kedua hal tersebut diatas, kita menjadi semakin yakin ajaran tentang kesabaran dan pentingnya tafakur. Nabi Muhammad pernah mengatakan “bahwa, kamu memiliki dua kualitas yang dicintai Alloh; kesabaran dan tafakur yang mendalam”. (HR. Muslim). Namun demikian bukan berarti kita tidak diperbolehkan marah tetapi marah dilakukan pada lokasi yang benar dan dengan ukuran yang tepat, justru kemarahan itu akan bersifat konstruktif, yaitu; marah ketika kita melihat berlangsungnya tata kehidupan sosial yang tidak benar terhadap kemaksiatan, korupsi, penyelewengan, penindasan, dan sebagainya. Sebagai manusia yang beriman, kita patut untuk marah bahkan Nabi mengajarkan dengan jelas terhadap sebuah kemungkaran, kita harus tersentuh untuk mengubahnya, baik lewat tangan (kekuasaan), lewat lisan (serua/himbauan) maupun lewat hati (tidak menyepakati, meski dengan cara diam). Marah seperti inilah yang konstruktif dan memberikan motivasi untuk mencari jalan keluarnya. Marah juga dapat terjadi apabila agama yang kita yakini, mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya. Dalam pengertian ini pula, kita berhak marah jika terjadi pelecehan terhadap nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan universal yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Menurut Imam Syafi’i ra; “Kalau kondisi seperti diatas dia tidak marah maka dia disebut Himar / Keledai”. Manusia justru dianjurkan untuk marah secara positif, konstruktif dan bertanggung jawab. Bahwa marah bukan datang dari subyektifitas pribadi melainkan lahir dari komitmen untuk membela kepentingan publik dan masyarakat yang terancam kebatilan. Oleh karena itu masalah marah adalah masalah manajemen. Persoalan marah adalah bagaimana mengelola marah secara baik dan benar sehingga senantiasa datang pada tempat yang seharusnya dan dalam ukuran yang semestinya, serba tepat lokasinya dan terukur porsinya serta selalu tersenyum menghadapinya.

No comments: