Friday, July 9, 2010

Menangis



Sehabis sesiangan beker­ja di sawah-sawah serta disegala macam yang
diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah
Latif rnenga­jak para santri untuk sesering mungkin bershalat malam.

Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat
"iyyaka na'budu..." Abah Latif biasanya lantas menangis tersedu-sedu bagai
tak berpenghabisan.

Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat un­tuk melampaui kata itu,
Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan "wa iyyaka
nasta'in..."


Banyak di antara jamah yang bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk
ke lantai atau meraung-raung.

"Hidup manusia harus ber­pijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar",
ber­kata Abah Latif seusai wirid bersama, "Mengucapkan kata-kata itu dalam
al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam
kehidupan.'Harus' di situ titik beratnya bukan sebagai aturan,melainkan
memang demikianlah hakekat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku
selain di dalam hakekat itu"'.

"Astaghfirullah, astaghfirullah" , geremang turut menangis mulut para­
santri.

"Jadi, anak-anakku" , beliau melanjutkan, "apa akar dan pijakan kita dalam
rnengucapkan kepada Allah iyyaka na'budu?"

"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan
bimbingan Allah itu sendiri, Abah?", bertanya seorang santri.

"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan
kehidupan".

"Belum jelas benar bagiku, Abah".

"Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan
kenyataan".

"Astaghfirullah, astaghfirullah" , geremang mulut para santri terhenti
ucapannya, Dan Abah Latif meneruskan, "Sekarang ini kita mungkin sudah
pantas mengucapkan iyyaka a'budu. Kepada-Mu aku menyembah. Tetapi Kaum
Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata
kepada-Mu kami menyembah, na'budu".

"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita
sebagai diri pribadi serta kita seba­gai umatan wahidah. Ketika sampai di
kalimat na'budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari 'abdullah,
yakni khalifatullah. Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum
Muslimin dalam menyembah Allah di mana penyembahan itu diterjemahkan ke
dalam setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na'budu dalam shalat
mustilah memiliki akar dan pijakan di mana kita Kaum Muslimin telah membawa
urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta
segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku,
betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan
airmata tak bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?"

"Astaghfirullah, astaghfirullah" , geremang mulut para santri.

"Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi
khalifatullah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan
sungguh-sungguh tak berpeng­habisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka
nasta'in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong
kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita
meminta pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam sangat banyak hal kita
lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada
hakekatnya melawan Allah".

"Astaghfirullah, astaghfirullah" , gemeremang para santri.

"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah
perbuatan-perbuatan mu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di
sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia
yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu.
Kemudian peliharalah kepekaan dan kesang­gupan untuk tetap bisa menangis.
Karena alhamdulillah seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan
untuk menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup
mengantarkan kita kepada-Nya". !

Emha Ainun Nadjib,

Panji Masyarakat, 2005

Baca Selengkapnya......

Wednesday, June 30, 2010

Indahnya Ta'aruf Secara Islami

Sengaja kugoreskan tulisan ini, kado untuk teman-teman ku yang sedang ta’aruf, atau yang akan melakukan ta’aruf secara Islami. Juga bagi pasangan yang sudah pernah melakukan ta’aruf Islami,kado tulisan ini kupersembahkan sebagai kenang-kenangan yang terindah yang pernah dilalui dahulu. Kudoakan semoga Allah SWT selalu memudahkan dan melancarkan ta’aruf Islami yang sedang atau akan berlangsung. Bagi pasangan yang sudah melakukan ta’aruf Islami, semoga langgeng pernikahannya, hingga kematianlah yang memisahkan kita dari pasangan kita. Aamiin


Bagi setiap aktivis da’wah, yang sudah memilih da’wah sebagai jalan hidupnya, tentunya harus memiliki kepribadian Islamiyyah yang berbeda dengan orang-orang yang belum tarbiyah tentunya. Salah satu akhlak (kepribadian Islami) yang harus dimiliki setiap ikhwan atau akhwat adalah ketika memilih menikah tanpa pacaran. Karena memang dalam Islam tidak ada konsep pacaran, dengan dalih apapun. Misalnya, ditemani orang tualah, ditemani kakak atau adiklah sehingga tidak berdua-duan. Semua sudah sangat jelas dalam Alqur’an surat Al Isra ayat 32 yang artinya ”Dan janganlah kamu mendekati zina ; (zina) itu sungguh perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”. Apalagi sudah menjadi fihtrah bagi setiap pria pasti memiliki rasa ketertarikan pada wanita begitu pula sebaliknya. Namun Islam memberikan panduan yang sangat jelas demi kebaikan ummatnya. Mampukah tiap diri kita menata semua, ya perasaan cinta, kasih sayang benar-benar sesuai dengan syari’ah? Dalam buku Manajemen Cinta karya Abdullah Nasih Ulwan, juga disebutkan, cinta juga harus dimanage dengan baik, terutama cinta pada Allah SWT, Rasulullah SAW, cinta terhadap orang-orang shalih dan beriman. Jadi tidak mengumbar cinta secara murahan atau bahkan melanggar syariat Allah SWT.

Lalu bagaimanakah kiat-kita ta’aruf Islami yang benar agar nantinya tercipta rumah tangga sakinah mawaddah warohmah,:

1.Melakukan Istikharoh dengan sekhusyu-khusyunya
Setelah ikhwan mendapatkan data dan foto, lakukanlah istikharoh dengan sebaik-baiknya, agar Allah SWT memberikan jawaban yang terbaik. Dalam melakukan istikharoh ini, jangan ada kecenderungan dulu pada calon yang diberikan kepada kita. Tapi ikhlaskanlah semua hasilnya pada Allah SWT. Luruskan niat kita, bahwa kita menikah memang ingin benar-benar membentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah. Seseorang biasanya mendapatkan sesuatu sesuai dengan apa yang diniatkannya.

2.Menentukan Jadwal Pertemuan (ta’aruf Islami)
Setelah Ikhwan melakukan istikharoh dan adanya kemantapan hati, maka segerlah melaporkan pada Ustadz, lalu Ustadz pun memberikan data dan foto kepada Ustadzah (guru akhwat), dan memberikan data dan foto ikhwan tersebut kepada Akhwat. Biasanya akhwat yang memang sudah siap, Insya Allah setelah istikharoh juga segera melaporkan kepada Ustadzahnya. Lalu segeralah atur jadwal pertemuan ta’aruf tersebut. Bisa dilakukan di rumah Ustadzah akhwatnya. Memang idealnya kedua pembimbing juga hadir, sebagai tanda kasih sayang dan perhatian terhadap mutarabbi (murid-murid). Hendaknya jadwal pertemuan disesuaikan waktunya, agar semua bisa hadir, pilihlah hari Ahad, karena hari libur.

3.Gali pertanyaan sedalam-dalamnya
Setelah bertemu, hendaknya didampingi Ustadz dan Ustadzah, lalu saling bertanyalah sedalam-dalamnya, ya bisa mulai dari data pribadi, keluarga, hobi, penyakit yang diderita, visi dan misi tentang rumah tangga. Biasanya pada tahap ini, baik ikhwan maupun akhwat agak malu-malu dan grogi, maklum tidak mengenal sebelumnya. Tapi dengan berjalannya waktu, semua akan menjadi cair. Peran pembimbing juga sangat dibutuhkan untuk mencairkan suasana. Jadi tidak terlihat kaku dan terlalu serius. Dibutuhkan jiwa humoris, santai namun tetap serius.
Silakan baik ikhwan maupun akhwat saling bertanya sedalam-dalamnya, jangan sungkan-sungkan, pada tahap ini. Biasanya pertanyaan-pertanyaan pun akan mengalir.

4.Menentukan waktu ta’aruf dengan keluarga akhwat
Setelah melakukan ta’aruf dan menggali pertanyaan-pertanyaan sedalam-dalamnya, dan pihak ikhwan merasakan adanya kecocokan visi dan misi dengan sang akhwat, maka ikhwan pun segera memutuskan untuk melakukan ta’aruf ke rumah akhwat, untuk berkenalan dengan keluarga besarnya. Ini pun sudah diketahui oleh Ustadz maupun Ustadzah dari kedua belah pihak. Jadi memang semua harus selalu dikomunikasikan, agar nantinya hasilnya juga baik. Jangan berjalan sendiri. Sebaiknya ketika datang bersilaturahim ke rumah akhwat, Ustadz pun mendampingi ikhwan sebagai rasa sayang seorang guru terhadap muridnya. Tetapi jika memang Ustadz sangat sibuk dan ada da’wah yang tidak bisa ditinggalkan, bisa saja ikhwan didampingi oleh teman pengajian lainnya. Namun ingat,ikhwan jangan datang seorang diri, untuk menghindarkan fitnah dan untuk membedakan dengan orang lain yang terkenal di masyarakat dengan istilah ’ngapel’ (pacaran).
Hendaknya waktu ideal untuk silaturahim ke rumah akhwat pada sore hari, biasanya lebih santai. Tapi bisa saja diatur oleh kedua pihak, kapan waktu yang paling tepat untuk silaturahim tersebut.

5.Keluarga Ikhwan pun boleh mengundang silaturahim akhwat ke rumahnya
Dalam hal menikah tanpa pacaran, adalah wajar jika orang tua ikhwan ingin mengenal calon menantunya (akhwat). Maka sah-sah saja, jika orang tua ikhwan ingin berkenalan dengan akhwat (calon menantunya). Sebaiknya ketika datang ke rumah ikhwan, akhwat pun tidak sendirian, untuk menghindari terjadinya fitnah. Dalam hal ini bisa saja akhwat ditemani Ustadzahnya ataupun teman pengajiannya sebagai tanda perhatian dan kasih sayang pada mutarabbi.

6.Menentukan Waktu Khitbah
Setelah terjadinya silaturahim kedua belah pihak, dan sudah ada kecocokan visi dan misi dari ikhwan dan akhwat juga dengan keluarga besanya, maka jangalah berlama-lama. Segeralah tentukan kapan waktu untuk mengkhitbah akhwat. Jarak waktu antara ta’aruf dengan khitbah, sebaiknya tidak terlalu lama, karena takut menimbulkan fitnah.

7.Tentukan waktu dan tempat pernikahan
Pada prinsipnya semua hari dan bulan dalam Islam adalah baik. Jadi hindarkanlah mencari tanggal dan bulan baik, karena takut jatuh ke arah syirik. Lakukan pernikahan sesuai yang dicontohkan Rasulullah SAW, yaitu sederhana, mengundang anak yatim, memisahkan antara tamu pria dan wanita, pengantin wanita tidak bertabarruj (berdandan),makanan dan minuman juga tidak berlebihan.

Semoga dengan menjalankan kiat-kiat ta’aruf secara Islami di atas, Insya Allah akan terbentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah…yang menjadi dambaan setiap keluarga muslim baik di dunia maupun di akhirat.

Teriring doaku yang tulus kepada ikhwah dan akhwat fillah yang akan melangsungkan pernikahan kuucapkan ”Baarokallahu laka wa baaroka ’alaika wajama’a bainakumaa fii khoirin..

Dan bagi sahabat-sahabatku yang belum menikah, teriring doa yang tulus dari hatiku, semoga Allah SWT memberikan jodoh yang terbaik untuk semua baik di dunia maupun di akhirat..Aamiin ya Robbal ’alamiin (Catatan Ayoe Zoete:)

Baca Selengkapnya......

Saturday, March 27, 2010

Jujur Pada Diri Sendiri, Proses Therapy Perasaan Gak Enakan

Semoga hari yang berhagia ini, semakin menambah nilai-nilai kebaikan bagi kita. Mudah-mudahan setiap detik sejarah telah terukir dalam simpanan energi semesta, Menjadikan kita lebih berkarakter mulia. Diantaranya semakin bertambah kejujuran baik kepada diri sendiri atau kepada orang lain.

Seorang shahabat saya menjadikan “Keputusan yang dibuat manusia / diambil oleh seseorang mempengaruhi kehidupan orang lain” sebagai tema penelitian ilmiahnya. Tema yang sederhana, tapi memiliki makna yang dalam, jika kita kaji dari ranah spiritual.

Tema diatas mengingatkan saya tentang tujuan penciptaan manusia yang Allah terangkan di Al-Baqarah : Kahlifah. Sebagai khalifah wajib menyadari akan keputusan-keputusan yang diambil untuk menyeimbangkan kehidupan dunia.


Sementara itu, saat saya menuliskan note yang sedang anda baca sekarang. Terbesit sesuatu dalam fikiran saya. Itu tatkala merenungi tentang makna kejujuran. Mungkin anda pernah mendengar judul sebuah buku ”Jujur mata uang yang hilang” atau mungkin kata bijak yang lain berhubungan dengan kejujuran.

Sebuah pertanyaan kontemplasi bagi diri, Sudahkah saya jujur?. Saya tidak tau bagaimana dengan prinsip hidup anda. Apakah anda senang dengan kejujuran? Saya yakin dan percaya, kejujuran adalah pengantar kepada pintu kepercayaan.

Berbohong pada diri sendiri

”Hindari bohong, Jujurlah pada diri sendiri”. Nasehat yang saya dapatkan dari Tengku di di menasah saat belajar membaca Al-Qur’an, dan mengaji kitab Masailal Muhtadin dan Tanbiqhul Ghafilin. Bahkan juga diulang-ulang oleh ustaz saya di Ma’had Ruhul Islam.

Ibda binafsik, mulai dari diri sendiri. Pesan Rasulullah untuk melakukan perubahan. Sekarang saya sadari, ini awal dari kemuduran dan gelapnya hati. Demi membahagiakan orang lain, sudi kiranya membohongi diri sendiri. Agar menyenangi teman, rela berkata tidak sesuai dengan hati. Supaya membahagiakan shahabat, mengikhlaskan penderitaan diri.

Bukan persoalan salah dan benar, Melainkan cara menyikapi dan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Guru saya di Pondok Pesantren NLP Pasar Minggu. Sering membingkai pembelajaran demikian.

Jujur adalah pintu kesadaran dan hakekat kesuksesan hidup.

Mungkin ”Katakan kebenaran, walau itu pahit (sakit untuk didengar, sulit diterima atau bahkan ditolak)” adalah penjabaran dari anjuran berlaku Jujur pada diri sendiri. Ada hal-hal menarik yang saya temukan, saat membantu shahabat menyelesaikan persoalannya. Yang kini menjadi pembelajaran hidup.

Ada keluhan ingin berlari dari hiruk pikuk tuntutan target pekerjaan. Ada juga seorang bapak-bapak berucap, Saya mau merdeka dari tuntutan orang lain. Pernah juga teman menyampaikan, Aku ingin orang tua mengerti kemauanku. Saya sendiripun dulu pernah bertanya, Sampai kapan saya harus mengikuti kemauan bukan diri saya sendiri.

Seorang wanita tidak mampu menolak menerima calon suami dari ayah ibunya. Pernah juga, seorang teman lelaki, melepaskan wanita yang dicintainya demi membahagiakan ibunya dengan menikahi wanita bukan pujaan hatinya. Tidak sedikit, saya berjumpa dan mendengar curhatan para pekerja, yang beraktivitas bukan pada bidang yang disukainya.

Pakar kejiwaan pernah bertutur ”Orang-orang yang bekerja pada bidang yang dia cintai dan senangi, memiliki kesempatan hidup lebih lama”

Guru saya bapak Noeryanto, Pengasuh Pondok Pesantren NLP Pasar Minggu mengingatkan ”Saat ayam (binatang) memahami kodratnya sebagai ayam, dan manusia memahami kodratnya sebagai manusia (khalifah). Maka keseimbangan alam terjadi. Itulah mamfaat KESADARAN”

Dari kejadian dan peristiwa diatas. Saya menemukan satu hal, bahwa Jujur kepada diri sendiri bisa sebagai proses Therapy Perasaan Gak Enakan.

Sekali lagi, ini bukan persoalan Salah atau benar, melaikan cara menyikapi dan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Mungkin, shahabat saya mengambil tema penelitiannya “Keputusan yang dibuat manusia / diambil oleh seseorang mempengaruhi kehidupan orang lain” atas dasar kontemplasi diri yang amat dalam. Terlepas dari itu semua, hadir pertanyaan kontemplasi diri ; Sampai kapan saya berlaku Bohong dan Tidak jujur pada diri sendiri?

Wallahu’alam
RAHMADSYAH, CM.NLP
Motivator & Mind-Therapist I 081511448147 YM;rahmad_aceh
www.facebook. com/rahmadsyah
Bogor 23 Maret 2010

Baca Selengkapnya......

INDAHNYA HARIKU

Ku jelang pagi ini, dengan senyum penuh ketulusan
Kan kujalani hari ini dengan semangat penuh keikhlasan
Mencoba membuka mata, membuka hati, mencoba menguntai kata
Begitu luas hamparan untukku mewujudkan mimpi hati

Biarlah kugantungkan segala asa yang ada pada cakarawala
Biarlah ku jaga rasa cinta yang ada dalam indahnya balutan awan putih
Hingga dengannya kan gapai segala doa
Dan bersamanya hidup semakin ku rasa bahagia

Teduhnya warna biru berhias awan putih tanpa batas
Hijau rumput laksana permadani pelengkap teman mimpi
Canda kicau burung di sela kepakan sayap yang melintas di langit bebas
Bisikan angin yang bertiup begitu memanjakan
Sungguh membuaiku dalam pelukan alam luas

Tuhan ...
Ku bahagia atas nikmat-Mu
Ku bersyukur atas karunia-Mu

Biarlah semua ini tetap bisa kumiliki
Ijinkan semua ini tetap bisa aku nikmati
Karena Kau tau, saat semua itu tak lagi menemaniku
Hariku akan berubah menjadi sepi tanpa arti
-------Catatan Mohammad Zuher-------

Baca Selengkapnya......

Wednesday, March 24, 2010

Fenomena Koruptor Religius

*ADA* fakta ganjil yang sudah lama berlangsung di Indonesia: agama
sering menjadi selimut atau topeng untuk me­nutupi tindakan korupsi.
Misalnya, kaum koruptor tampak rajin melaksanakan ritual agama dengan
melibatkan tokoh-tokoh agama dan masyarakat sekitarnya seperti
menyelenggarakan acara doa bersama atau acara syukuran.

Bahkan, ketika membangun rumah, banyak koruptor yang tidak lupa
membangun tempat ibadah di lingkungan tempat tinggalnya. Jika dicermati
lebih serius, tidak ada koruptor di Indonesia yang tidak beragama.
Karena itu, ada pertanyaan yang layak diutarakan: kenapa seseorang bisa
menjadi koruptor sekaligus rajin beribadah? Adakah hubungan antara agama
dan korupsi?

*Kamuflase *

Bagi kaum moralis, fenomena koruptor yang rajin beribadah mungkin akan
dipandang sebagai bentuk pelecehan terhadap agama. Dalam hal ini, para
ko­ruptor sengaja memfungsikan agama se­bagai kamuflase atas
kejahatannya. Tentu saja, fenomena demikian bukan hal yang aneh dan baru
dalam sejarah agama-agama.

Seperti dalam Islam, sejak awal ma­sa perkembangannya, stigma munafik
te­lah diperkenalkan. Stigma itu diberi­kan kepada orang yang sengaja
mem­fung­sikan Islam hanya sebagai kamu­fla­se. Dalam Islam, orang
munafik di­anggap musuh paling berbahaya ba­gi kaum muslimin. Ibarat
musuh dalam sa­tu selimut yang selalu siap mencela­ka­­kan kapan saja.
Dengan demikian, da­lam Alquran maupun hadis, banyak disebutkan bahwa
kaum munafik ada­lah kaum yang sangat dikutuk oleh Allah SAW.

Jika faktanya sekarang di Indonesia banyak koruptor yang beragama Islam,
agaknya layak diduga, mereka tergolong kaum munafik. Bila mereka per­nah
atau sedang menjadi pejabat-pejabat penting, bangsa dan negara
Indonesia, sepertinya, juga layak ditengarai se­bagai ikut-ikutan
terkutuk, dengan bukti seringnya terjadi bencana atau tra­gedi kemanusiaan.

Banyaknya fakta bahwa para koruptor rajin beribadah, khususnya
menga­da­kan acara doa bersama atau acara syukuran, ada kesan bahwa para
pemuka agama seolah-olah ikut mengamini tindakan korupsi. Kesan tersebut
bisa saja menyakitkan, tapi agaknya tetap layak diungkapkan. Sebab, itu
didukung fakta yang cenderung semakin fenomenal.

Fenomena memfungsikan agama sebagai kamuflase serta kemunafikan para
koruptor sering sangat mudah dilihat setiap menjelang kampanye pe­milu
(dan belakangan pilkada). Misalnya, betapa banyak elite politik yang
terindikasi korup berlomba-lom­ ba merangkul pemuka-pemuka agama. Betapa
banyak elite politik yang terindikasi korup berlomba-lomba memberikan
sumbangan dana pembangunan fasilitas peribadatan atau sarana pendidikan
agama. Dalam hal ini, semua pe­muka agama justru gembira (dan tidak ada
yang keberatan atau sekadar mengkritik perilaku munafik).

Karena itu, wajar-wajar saja jika ada yang bilang bahwa pemuka-pemuka
agama sekarang akan senang-senang saja menerima sumbangan dana meski si
pemberi jelas-jelas seorang koruptor!

*Kontradiksi *

Beberapa tahun lalu, dari lingkungan sebuah organisasi keagamaan, muncul
fatwa bahwa koruptor yang meninggal dunia tidak wajib disalati.
Pasalnya, koruptor identik dengan munafik. Fatwa demikian selayaknya
menjadi otokritik. Sebab, selama ini banyak koruptor yang gemar
mendatangi kiai-kiai untuk memberikan sumbangan dana pembangunan masjid
dan pondok pesantren. Mereka bermaksud mendapatkan dukungan politik dari
kiai dan pengikut mereka.

Adanya fatwa dan perilaku kemunafikan tersebut tentu saja merupakan
kontradiksi yang bisa saja akan membingungkan masyarakat awam. Bagaimana
mungkin pemuka agama bisa akur dengan koruptor?

Dengan demikian, agaknya, juga perlu segera ada fatwa baru untuk
menjelaskan kontradiksi tersebut, agar ke depan tidak semakin
membingungkan masyarakat awam. Sejauh ini, kontradiksi itu memang belum
pernah dikaji secara serius oleh komunitas-komunitas keagamaan di
Indonesia. Bahkan, belum ada pemuka agama yang mempersoalkan kontradiksi
tersebut secara terbuka. Dengan begitu, hal ini pun kemudian mengundang
pertanyaan baru: benarkah telah terjadi kompromi antara koruptor dan
kalangan pemuka agama, karena sebagian hasil korupsi digunakan untuk
mendanai kepentingan pengembangan agama?

*Revitalisasi Agama *

Fenomena semakin merajalelanya korupsi cenderung dibiarkan oleh
pemuka-pemuka agama karena, sepertinya, telanjur dianggap bukan masalah
yang perlu dipersoalkan lagi. Jika kini sejumlah perangkat hukum yang
ada tidak bisa memberantasnya, sepertinya, perlu dilakukan upaya-upaya
alternatif. Misalnya, melakukan revitalisasi agama oleh kalangan pemuka
agama. Langkah-langkahnya sebagai berikut. Pertama, memandirikan semua
organisasi keagamaan di Indonesia dengan menerapkan sikap tegas untuk
tidak menerima sumbangan dana dari pihak-pihak yang terindikasi korup.

Kedua, pemuka-pemuka agama menolak terlibat dalam politik praktis dengan
cara tidak bergabung atau sekadar bersimpati kepada kekuatan politik
yang korup. Dalam hal ini, pada saat menjelang pemilu atau pilkada,
pemuka agama harus netral dan tidak mendukung secara langsung maupun
tidak langsung yang menguntungkan para koruptor.

Ketiga, mengembangkan sikap kritis masyarakat terhadap indikasi-indikasi
korupsi agar tidak memberikan dukungan politik kepada siapa pun yang
terindikasi korup.

Keempat, pemuka agama serta umat beragama segera memutuskan hubungan
dengan semua pejabat negara yang terindikasi korup. Dalam hal ini,
menolak tegas undangan doa bersama atau acara syukuran yang
diselenggarakan oleh pejabat negara yang terindikasi korup. Dengan cara
demikian, ada kemungkinan kaum koruptor tidak semakin ugal-ugalan
menjadikan agama sebagai kamuflase.

Dengan revitalisasi agama, fenomena koruptor tampak religius yang
identik dengan merajalelanya kaum munafik dalam melakukan korupsi
berjamaah mungkin akan segera dapat dikikis habis. (*)

* /*). Anita Retno Lestari/ * /, direktur Lembaga Studi Humaniora/


Baca Selengkapnya......

DINDING YANG KOSONG

.... kisah yang sangat layak untuk disimak Ada dua orang pasien pria yang menderita sakit parah. Mereka dirawat di rumah sakit yang sama. Pria pertama diizinkan duduk di tempat tidurnya setiap sore selama satu jam. Tujuannya adalah agar cairan dari paru-parunya bisa dikeluarkan.

Tempat tidurnya terletak di dekat satu-satunya jendela yang ada di kamar itu.

Sedang pria yang kedua harus selalu berbaring dalam keadaan terlentang. Karena di antara dua tempat tidur ada dinding pemisah yang cukup tinggi, pria yang tidur terlentang tidak bisa melihat ke jendela.

Kedua orang pria tersebut sering mengobrol. Macam-macam hal yang mereka bicarakan. Dari mengenai istri, keluarga, rumah, pekerjaan, wajib militer sampai tempat-tempat yang dikunjungi saat liburan.

Sore hari, saat pria yang menempati tempat tidur dekat jendela diizinkan duduk, dia bercerita ke teman sekamarnya. Ia melaporkan apa-apa yang dilihatnya di balik jendela.

Pria yang hanya bisa terlentang lama-kelamaan bisa menikmati cerita temannya. Selama satu jam sehari, cara pandangnya diperluas dan dihidupkan kembali dengan mendengarkan tentang kegiatan dan warna-warni dunia luar. Jendela itu menghadap ke sebuah taman.

Di taman itu juga ada sebuah danau yang indah dengan bebek-bebek dan angsa-angsa yang berenang di atasnya. Anak-anak bermain dengan mainan kapal layarnya.

Pasangan suami isteri yang sedang dimabuk asmara berjalan sambil bergandengan tangan di antara bunga-bunga yang berwarna-warni bagaikan warna pelangi. Beberapa pohon besar tumbuh di atas rerumputan. Pemandangan indah kota terlihat dari kejauhan.

Pria yang berada di dekat jendela menceritakan semua ini dengan amat rinci. Pria yang mendengarkan, menutup matanya sambil membayangkan pemandangan- pemandangan yang dituturkan rekannya.

Di suatu hari yang cukup terik, pria yang menempati tempat tidur dekat jendela melaporkan tentang sebuah pawai yang lewat di sana.

Pria yang kedua tidak bisa mendengar musik bandnya. Namun, dia bisa melihat mereka dengan mata batinnya. Ia seakan melihat badut-badut yang menari-nari, bendera yang berwarna-warni serta mobil dan kuda yang dihias.

Hari pun berlalu. Di dalam hati pria yang tidak bisa melihat ke jendela diam-diam timbul rasa iri atas cerita-cerita yang disampaikan oleh teman sekamarnya, karena dia ingin sekali melihat sendiri semua yang diceritakannya.

Dia pun mulai membenci teman sekamarnya, karena dia ingin sekali melihat sendiri semua yang diceritakannya. Dia pun mulai membenci teman sekamarnya dan merasa frustasi. Dia juga ingin menempati tempat tidur di dekat jendela!

Pada suatu pagi seorang juru rawat masuk ke kamarnya. Pria yang ditempatkan di dekat jendela ditemukan meninggal dengan tenang pada saat tidur. Dengan rasa sedih dia memanggil pegawai rumah sakit untuk memindahkan jenazahnya.

Setelah dianggap tepat waktunya, pria yang masih dirawat menanyakan apakah dia bisa dipindahkan ke tempat tidur dekat jendela. Perawat tidak berkeberatan untuk memindahkannya dan setelah yakin pasiennya dalam posisi yang aman, dia meninggalkannya sendirian.

Pelan-pelan, sambil menahan rasa sakit, dia berupaya mengangkat tubuhnya dengan satu siku lengannya untuk melihat pertama kalinya dunia di luar jendela. Ia pikir, akhirnya dia bisa juga menikmati kebahagiaan saat melihat taman di luar dan semua kegiatan yang ada. Dia berusaha untuk melongok..

Namun ia menjadi amat terkejut karena ternyata yang dilihatnya hanya dinding yang kosong. Dia segera memanggil suster dan bertanya, “Bagaimana teman sekamar saya bisa melihat semua yang diceritakannya kepada saya? Bagaimana dia bisa menceritakan kepada saya tentang segala keindahan sampai yang sekecil-kecilnya, padahal saya hanya melihat dinding batu bata yang kusam!

”Perawat itu menjawab, “Lho, memang Bapak tidak tahu? Mantan teman sekamar Bapak kan buta, jadi dinding pun tidak mungkin bisa dilihatnya.” Kemudian sang perawat menambahkan, “Mungkin dia hanya ingin membesarkan hati Bapak saja.

”Apakah Anda bisa merasakan emosi yang terkandung dalam cerita ini?

Apakah pernah terpikir oleh Anda untuk menukar posisi Anda dengan posisi orang lain karena merasa iri kepada orang tersebut.

Apakah Anda pernah merasa demikian kecewa,misalnya Anda menyangka sesuatu itu begitu indah, tetapi kenyataannya tidak seperti yang Anda bayangkan?

Apakah Anda pernah diberi kata-kata pemberi semangat, tetapi Anda tidak pernah mau mensyukurinya?

Kalau hidup Anda terobsesi oleh segala yang dimiliki orang lain, maka Anda tidak merasakan indahnya hal-hal yang akan diberikan oleh orang lain kepada Anda.

Di zaman sekarang ini banyak sekali orang yang ingin memiliki apapun yang dimiliki orang lain. Ingin suami atau istri seperti yang dimiliki orang lain, ingin pekerjaan seperti pekerjaan orang lain, ingin penghargaan seperti yang telah diterima orang lain, ingin popularitas seperti yang diraih oleh orang lain, rumah yang dimiliki orang lain, posisi yang dimiliki oleh orang lain.

Sering pula mereka ingin hal-hal yang mereka anggap ada di dalam diri orang lain. Misalnya, kebahagiaan, rasa memiliki tujuan, kedamaian pikiran, rasa cinta dan kenyamanan. Yang sebenarnya adalah bahwa di setiap situasi pasti ada masalah, di setiap kehidupan pasti ada rintangan, di setiap hubungan pasti ada kesulitan, di setiap kesempatan pasti ada tantangan atau masalah yang berat.

Pada dasarnya, pada setiap aspek yang positif selalu ada tandingannya yang bersifat negatif. Karena itu, tidak mungkin ada orang yang bebas dari masalah kehidupan.

Kalau begitu, bagaimana sikap kita dalam menghadapi hal ini?#

Jadilah orang yang PANDAI BERSYUKUR untuk apa yang SUDAH ANDA MILIKI saat ini.#

Bersikaplah POSITIF atas semua keadaan, karena KEBAHAGIAAN itu BUKAN DI LUAR DIRI tetapi ADA di DALAM DIRI. (Dari buku ‘Piano on the Beach’ karangan Jim Dornan)
Sent from my BlackBerry®

Baca Selengkapnya......

Tuesday, February 23, 2010

KEMERDEKAAN YANG BERAQIDAH

Awalnya kata Merdeka berasal dari bahasa Sansekerta “Mahardhika” berarti sangat berjaya, berkuasa atau bijaksana. Dalam bahasa jawa kuno arti kata ini bergeser sedikit dan bermakna bijaksana, pandai, terhormat, pendita dan tidak tunduk pada seseorang selain kepada Tuhan atau Raja, maka mulai berarti bebas. Dan dalam bahasa Melayu “Merdika” memperoleh arti bebas, maksudnya bukan budak. Demikian juga J. Gonda dalam Sanskrit in Indonesia, mengungkapkan bahwa Merdeka berarti lepas dari segala ikatan yang tidak layak (unsur negatif), sehingga menjadi bebas untuk menentukan nasib sendiri demi sesuatu yang baik (unsur positif). Sehingga Kemerdekaan bias diartikan sebagai kebebasan.
Kebebasan adalah anugerah dan sekaligus ciri kemuliaan manusia diantara seluruh makhluk Tuhan. Kebebasan merupakan suatu gagasan / konsep yang analog, artinya kebebasan direalisasikan secara fundamental berbeda menurut tingkat keberaaan (manusia, binatang, dll).


Kebebasan sendiri mempunyai arti keadaan bebas. Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata dasar dari kebebasan mengandung beberapa makna, yaitu :
1.Lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dsb sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dsb dengan leluasa).
2.Lepas dari (kewajiban, tuntutan, perasaan, takut dsb).
3.Tidak dikenakan (pajak, hukuman, dsb).
4.Tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan dsb.
5.Merdeka (tidak dijajah, diperintah atau dipengaruhi oleh Negara lain atau kekuatan asing)
6.Tidak terdapat (didapati) lagi

Arti kebebasan dapat dirumuskan secara negative dan positif :
a.Dalam arti negatif berarti bebas dari, misalnya bebas dari ikatan atau paksaan untuk bertindak, yang mengikat / memaksa itu dapat bersifat lahiriah atau materiil (mis. Belenggu) atau dapat bersifat batiniah atau psikologis (mis. Ancaman berat). Kebebasan psikologis atau berkehendak mengatakan bahwa manusia “mampu berkehendak seperti ia kehendaki”, maksudnya kehendak manusia dapat bertahan melawan halangan, paksaan ataupun larangan, sekurang-kurangnya dengan tidak berbuat .
b.Dalam arti positif manusia adalah “bebas untuk” berbuat sesuatu dan khususnya “bebas untuk berbuat baik”.

Kebebasan adalah suatu kemampuan positif, sehingga manusia dengan berbuat dan khususnya dengan berbuat baik (sekurang-kurangnya tidak berbuat jahat) merealisasikan diri menjadi orang yang baik. Inilah tanggung jawab manusia yang utama. Inilah tugas pokoknya. Inilah arti hidup manusiawi. Maka kebebasan untuk berbuat sesuai dengan keyakinan mengenai yang baik dan yang buruk adalah suatu hak asai manusia (kebebasan mengikuti suara hati), yang tidak diberi dan tidak dapat dicabut oleh orang lain, bahkan Negara pun tidak.
Indonesia merupakan Negara hukum. Maka kebebasan seorang warganegara Indonesia tidak boleh dibatasi oleh siapapun termasuk alat-alat pemerintahan selain dalam batas hukum yang berlaku. Azas kebebasan yang menjamin hak-hak dasar para warganegara dijamin oleh UUD 1945 pasal 27-29. walaupun dalam pasal-pasal tersebut hanya beberapa hak dasar ditentukan, namun kebebasan dalam Negara Pancasila harus disadari dan dijamin oleh Sila Perikemanusiaan dan Sila Keadilan. Sebab, UUD 1945 mendasarkan juga kebebasan internasional atas dua sila tersebut : “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan per-keadilan”.
Perlu dipahami bahwa nilai yang paling hakiki bagi manusia, adalah kebebasan. Dan kebebasan itu pula yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Akal pikiran sebagai anugerah dan aset Illahiyah menyebabkan manusia mempunyai kebebasan, sebuah ciri yang khas dari makhluk lainnya. Dalam Al-Qur’an Surat Al Ma’idah ayat20 dijelaskan :

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat lain”.

Hanya saja, banyak orang tidak memahami, dan tidak mengerti secara mendalam hakekat kebebasan tersebut. Mereka menganggap bahwa kebebasan berarti “lepas tanpa ikatan”, sesuatu yang keluar begitu saja, tanpa merasa ada kendala apapun. Sehingga dia boleh semaunya bertindak dan berbuat hanya mengikuti kemauannya sendiri (gugu karepe priyangga / sak karepe udele).
Kebebasan tanpa keterikatan, sama saja dengan binatang yang bergerak lepas menurut insting atau naluri alamiahnya, berbuat sebagaimana adanya, tanpa merasa terikat, tidak mempunyai akal pikiran, tidak mampu membedakan benar dan salah atau rasa susila. CEM. Joad dalam bukunya Philosophy mengatakan “Everything and every creature in the world expect man acts as it must, or acts as it pleases; man alone acts on occasion as ought”(Segala sesuatu serta makhluk yang diciptakan di dunia ini, selain manusia, bertindak sebagaimana yang diharuskannya atau bertindak menurut kesenangannya, sedangkan manusia sajalah yang bertindak sebagaimana seharusnya).
Dengan demikian, manusia menjadi manusia karena keterikatannya dan sekaligus mampu mengendalikan dan mengerti keterikatannya tersebut. Jean Jackues Rosseau mengungkapkan “ Manusia dilahirkan merdeka (bebas), tetapi dimana-mana dia terbelenggu”. Dalam hal ini, yang kita maksudkan dengan belenggu atau keterikatan tidak lain adalah tanggung jawab.
Pokoknya, manusia disebut bebas selama dia terikat, ada komitmen untuk bertanggung jawab. Winston Churchill (1874-1965) negarawan inggris, seorang orator ulung, berkata : “The prince of greatness is responsibility” (mahkota kebesaran adalah tanggung jawab). Manusia tidak mungkin melepaskan diri secara bebas dari berbagai kondisi yang mengikat dirinya, apakah dalam bentuk kondisi biologis, sosiologis, terlebih lagi ikatan kondisi theologies, keyakinan dan keimanan. Karena manusia pada dasarnya adalah makhluk Illahi yang sadar akan keIlahiannya.
Harus dipahami bahwa sisi lain dari makna tanggung jawab adalah bentuk keterikatan manusia di tengah-tengah keberadaannya di dunia. Tetapi janganlah digambarkan bahwa terikat itu seperti seorang pesakitan atau penjahat yang diborgol tangannya.
Yang dimaksud dengan keterikatan di sini, adalah kesadaran manusia atas keterbatasannya. Dia sadar bahwa ada batas-batas yang menyempitkan ruang geraknya, kemauannya, ambisinya dan impiannya. Tetapi dia juga sadar bahwa keterbatasannya tersebut harus diatasi, diarahkan serta dihayati dalam misinya untuk mengisi dan memberi makna hidupnya yang sejati.
Manusia yang bertanggung jawab merasakan bahagia justru karena ada ikatan. Ada komitmen atau dalam istilah agama dikenal sebagai aqidah (aqad = keterikatan, janji, kesepakatan) yang melahirkan berbagai kaidah kehidupan yang mengatur manusia agar dia mampu hidup selaras, serasi dan sehati dengan orang lain.
Dia sadar bahwa dengan adanya ikatan itulah, justru dia merasa menjadi manusia. Dia sadar bahwa dirinya bukanlah binatang yang bebas untuk bebas, melepaskan segala hajat tanpa ada ikatan, tanpa merasa ada sanksi atau kendali-kendali moral. Manusia memang bebas untuk menyatakan kemamuannya, tetapi tentu saja dia pun sadar bahwa dia tidak bisa berbuat semau-maunya. Karena adanya keterbatasan yang membawa resiko kepada dirinya tersebut.
Makna kebebasan sejati mengantongi kewajiban-kewajiban serta tanggung jawab yang membedakan diri manusia dari segala makhluk yang ada. Binatang tidak mengenal kewajiban, karenanya tidak mempunyai tanggung jawab. Seluruh tindakannya adalah insting, sebuah tindakan alamiah, bukan sesuatu yang disengaja, bukan tindakan yang diarahkan secara sadar oleh pikiran dan segenap hati nuraninya. Karena binatang tidak dilengkapi potensi tersebut.
Dalam Islam telah jelas bahwa manusia dipersilahkan untuk menggunakan anugerah kebebasan untuk mencari apa yang telah menjadi karunia Allah di muka bumi ini, setelah manusia tersebut menjalankan kewajibannya beribadah kepada sang Pencipta. Al-Qur’an Surat Al-Jumu’ah ayat 10, memaparkan hal tersebut :


“Apabila telah ditunaikan Shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya beruntung”.

Dengan demikian, makna kebebasan ini berakar dalam kebebasan rohani manusia yaitu sejauhmana dia mampu menguasai dan patuh terhadap hati nuraninya sendiri, terhadap pikiran dan kehendaknya. Seseorang bisa merasakan kebebasan, selama dia bebas untuk menentukan sikap dan tanggung jawabnya. Dia menjadi bebas karena setiap keputusan, pikiran dan tindakannya berasal dari jeritan nuraninya yang kemudian dia nyatakan dengan sadar, tidak dibuat-buat (artificial). Frederick Nietzche, mengatakan : “If you would go high, use your own legs. Do not let your selves be carried up, do not sit on the backs and heads of others” (Kalau ingin menjulang tinggi, gunakanlah kakimu sendiri. Jangan biarkan dirimu dijunjung orang, jangan kau duduk di atas punggung dan kepala orang lain.
Akar kebebasan adalah kemampuan manusia untuk menetukan dirinya sendiri. Kemampuan mengambil tempat dan mengambil keputusan-keputusan tanpa merasa ada hambatan atau tekanan dari pihak luar.

*********

Baca Selengkapnya......

Ekspresikan Dirimu Dengan Organisasi

“Ingatlah selalu bahwa kamu tidak hanya mempunyai hak untuk menjadi seorang individu.
Adalah tugasmu untuk menjadi seseorang “
(Eleanor Roosevelt)

Perumpamaan yang pas tentang pentingnya berorganisasi / berjama’ah pernah disampaikan Rasulullah saw. Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Tirmidzi dari Muadz bin Jabal, beliau bersabda, ”Sesungguhnya setan itu serigala bagi manusia, seperti serigala bagi kambing, ia akan menerkam kambing yang keluar dan menyendiri dari kawanannya. Karena itu, jauhilah perpecahan, dan hendaklah kamu bersama jama’ah dan umat umumnya.”
Dari kedua ungkapan diatas bisa ditarik garis merah, bahwa setiap individu harus bisa menjadi diri kita sendiri, tidak harus dengan cara egois. Tapi potensi yang kita miliki akan lebih baik jika ditumpahkan dalam sebuah wadah jama’ah atau yang biasa disebut organisasi. Sehingga apa yang kita miliki akan dapat dilengkapi dengan ilmu dari orang lain. Dengan kata lain kita dapat menunjukkan kemampuan yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada kita semua, dengan cara mengekspresikan potensi yang ada dalam berbagai organisasi.

Untuk mengekspresikan diri diorganisasi tidak cukup dengan hanya kita nibrung sejenak, datang jika kita sempat dan datang jika ada kegiatan besar. Tapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengekspresikan diri diorganisasi, antara lain:
1.Menata Niat
Ada sebuah Hadits Nabi yang menyatakan bahwa segala amal perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya. Setiap amal yang baik dan bermanfaat, apabila dilakukan dengan niat yang baik disertai dengan keikhlasan, mengharapkan keridhaan Allah Ta’ala akan menjadi suatu ibadah. Begitu juga dalam berorganisasi sangat perlu kita menata niat, untuk apa kita terjun dalam organisasi yang kita inginkan. Karena niat tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi kinerja dan loyalitas dalam berorganisasi.
2.Bidik Tujuan
Tujuan merupakan sesuatu yang ingin dicapai yang bermanfaat bagi peningkatan kualitas. Dalam menentukan tujuan dalam berorganisasi kita harus memperhatikan sistem SMART, yaitu :
Specific (spesifik), dimana harus menggambarkan secara tepat tujuan yang ingin dicapai.
Measurable (dapat diukur), setiap tujuan yang ditetapkan bisa dicapai dengan memonitor langkah prosesnya.
Attributable (sikap), punya sikap dalam meraih tujuan. Fokuskan tujuan itu dengan meluangkan waktu untuk mencapainya.
Realistic (realistis), pastikan tujuan itu realistis bukan hanya sekedar angan-angan.
Time Limit (batas waktu), tentukan batas waktu kapan ingin mencapai tujuan tersebut.
3.Mengendalikan Diri
Dengan niat dan tujuan yang bersifat pribadi, maka untuk terjun ke organisasi sangat perlu kita mengendalikan diri. Prinsip utama yang perlu kita perhatikan untuk belajar melakukan kendali diri adalah prinsip untuk hidup seimbang. Orang yang hidupnya seimbang adalah orang yang bisa mengendalikan aspek emosi, aspek pikiran, dan aspek fisik. Agar usaha pengendalian emosi, pikiran, dan fisik berhasil maka kita perlu menerapkan strategi kendali diri sebagai berikut :
Disiplin Diri
Jika kita sudah mampu mendisiplinkan diri kita sendiri, maka dengan sendirinya kemampuan kita akan lebih baik. Kita pun bisa lebih baik dalam mengatur waktu untuk beraktivitas diorganisasi lebih cerdas.
Motivasi Diri
Dorongan atau motivasi dari dalam diri sendiri muncul karena keinginan ataupun harapan yang kuat untuk meraih sukses. Jadi, temukan harapan atau keinginan yang kuat, yang pencapaiannya bisa membuat kita menitikkan air mata bahagia.
Dorongan atau motivasi dari luar bisa datang dari seseorang / orang lain, dari sebuah peristiwa ; kegagalan, kesuksesan.
Percaya Diri
Jika kita sendiri tidak percaya bahwa kita mampu berorgaisasi, bagaimana kita bisa meyakinkan orang lain untuk ikut mendukung dalam organisasi. Pada saat orang lain percaya kepada kita, maka akan mudah bagi kita untuk membangun kerja sama dalam berbagai hal. Rasa percaya diri bisa kita pupuk dengan melakukan perencanaan yang tersusun secara sistematis, kita juga bisa meningkatkan kepercayaan diri dengan senantiasa mengembangkan kemampuan.
Pengembangan Diri
Keinginan untuk selalu mengenbangkan diri, merupakan salah satu faktor kunci dalam memupuk kemampuan kita mengendalikan diri. Yang terpenting kita harus selalu mengembangkan diri secara terus menerus agar bisa memupuk rasa percaya diri yang tinggi, dan membuat orang menaruh kepercayaan. Banyak sekali sumber yang bisa kita manfaatkan untuk mengembangkan diri, kita bisa belajar dari pengalaman diri sendiri dan pengalaman orang lain.

4.Lalui Setiap Proses Yang Terjadi
Dalam berorganisasi hendaknya kita harus masuk dalam sistem dan siap mengikuti segala proses yang ada, jangan sampai kita melawan proses atau berhenti ditengah proses. Karena jika itu terjadi, apa yang sudah kita niatkan, yang sudah kita bidik tujuan dan pengembangan diri akan sia-sia belaka tanpa hasil apapun. Ikuti prosesnya dari awal hingga akhir. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam berproses diorganisasi, yaitu :
Mulai dari bawah
Dalam melakukan segala hal kita harus melalui awalan atau dari bawah. Jadi dalam berorganisasi juga kita harus bisa melalui proses dari bawah. Maksudnya kita harus paham seluk beluk kegiatan / tugas mulai dari tingkat bawah. Dengan demikian jika nantinya kita berada dipucuk pimpinan tidak akan seenaknya terhadap tugas dibawah, karena kita sudah tahu lika-liku, susah payahnya tugas di bawah. Misalnya mulailah dengan tugas yang kecil dan remeh tapi sangat berpengaruh pada roda organisasi, contohnya menjadi kurir undangan.
Ikuti aturan main
Setiap lembaga, organisasi, atau wadah apapun pasti mempunyai aturan dan prosedur dalam menjalankan kegiatan. Jadi, sebagai orang yang aktif dalam organisasi hendaknya kita harus mematuhi aturan / tata tertib yang ada dalam organisasi tersebut. Karena jika demikian, kita akan dapat melaksanakan segala potensi yang kita miliki dengan leluasa tanpa ada hambatan apapun. Lain halnya jika kita menyalahi aturan, maka apa yang kita miliki tidak akan berharga di hadapan anggota organisasi.
Akui perbedaan
Kita masuk dalam organisasi, awalnya adalah seorang individu, namun jika sudah didalam organisasi identitas kita sebagai individu harus ditanggalkan, karena dalam berorganisasi adalah peleburan setiap individu menjadi kesatuan yang sangat kokoh. Apa yang kita bicarakan bukan hanya kepentingan pribadi kita sendiri tapi sudah menyangkut kepentingan semua anggota organisasi. Maka dalam berorganisasi kita harus bisa menerima dan mengakui perbedaan yang ada, karena dengan perbedaan tersebut akan muncul berbagai macam pandangan yang bisa sebagai modal untuk kelangsungan kegiatan dalam berorganisasi.
5.Terus Ekspresikan Diri Dalam Organisasi
Setelah kita lalui semua hal diatas, maka secara tidak langsung kita sudah dapat mengekspresikan diri diorganisasi. Dengan demikian kita sudah menancapkan satu modal dalam diri kita untuk menambah potensi diri dibidang organisasi. Secara tidak langsung potensi diri kita tersebut akan diperhatikan oleh banyak kalangan, sehingga banyak orang yang menilai lebih terhadap kemampuan kita. Maka bersiap-siaplah untuk menjadi orang yang sangat dibutuhkan oleh orang lain. Jika anda sudah selesai melaksanakan amanah dalam satu organisasi maka lanjutkan pengalaman tersebut untuk pengembangan organisasi yang lain. Feel The Passion.

Baca Selengkapnya......