Thursday, January 31, 2008

Guru dan Organisasinya

Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 25 Jan 2007
Nanang (Ahmad Rizali)

Sejumlah guru di seluruh Indonesia saat ini 2,7 juta. Sekitar 90 persen dari jumlah itu adalah produk Orde Baru yang cenderung pada kesetiaan tunggal. Semua guru PNS wajib menjadi anggota Korpri dan secara otomatis memperoleh kartu anggota Golkar. Sebelumnya, pernah sejumlah guru menolak doktrin kesetiaan tunggal, namun akhirnya dikucilkan dari pergaulan serta tidak diberikan pekerjaan mengajar.

Dalam berorganisasi pun guru PNS hanya punya satu pilihan, bahkan dipaksa menjadi anggota Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), organisasi raksasa yang hari kelahirannya ditetapkan UU menjadi Hari Guru Nasional. Karena otomatis menjadi anggota maka otomatis pula gajinya dipotong sekian persen untuk iuran organisasi.

Tetapi, dengan memaksa guru PNS hanya setia dan taat kepada PGRI, Korpri, dan pada akhirnya harus setia mencoblos Golkar, tidak otomatis membuat guru semakin terampil mengajar. Hal itu disebabkan keterampilan profesional guru bukan menjadi indikator untuk kenaikan pangkat dan penilaian kompetensi seorang guru, namun indikator tertinggi adalah kesetiaan kepada ideologi dogmatis yang hanya boleh ditafsirkan oleh pemerintah (Nielsen, 2003).

Orde Reformasi tiba, semua kesetiaan tunggal berubah menjadi kesetiaan jamak, Guru sudah bebas menentukan kepada partai politik mana mereka ingin memberikan aspirasi. Guru pun bebas menentukan organisasi profesinya, bisa berhenti sebagai anggota PGRI dan ikut Forum Guru atau organisasi apapun yang tumbuh bak jamur di musim hujan.

Potongan gaji untuk iuran PGRI pun dihentikan dan sejak saat itu guru bebas sepenuhnya menata diri secara formal. Tetapi, karena terbiasa harus setia kepada satu organisasi saat dibebaskan dalam memilih organisasinya maka banyak guru yang gamang. Akhirnya dengan berbagai alasan, guru tetap bernaung di bawah organisasi PGRI.

Berubahkah PGRI seperti Golkar yang berubah menjadi partai dan mengubah slogannya serta gencar berpromosi? PGRI konon berubah sangat lambat, sebagaimana sifat alamiah sebuah organisasi besar yang pernah dipolitisasi dan dipaksa setia mutlak kepada pemerintah. Meskipun demikian, PGRI terbukti berhasil menggolkan UU Guru dan Dosen. Pimpinan PGRI mampu mendulang suara menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan banyak pula anggota PGRI menjadi pimpinan daerah.

Tapi, PGRI gagal menjadi organisasi profesi dalam arti sebenarnya bahwa semua anggotanya adalah guru profesional yang kompeten, seperti Dokter dengan IDI, akuntan dengan IAI, insinyur dengan PII, dan organisasi profesi lainnya. PGRI belum berhasil menjadi seperti IDI yang rekomendasinya mutlak menjadi rujukan Dinas Kesehatan ketika memberikan izin praktek dokter dan menghukum anggotanya jika melanggar kode etik. PGRI gamang, ketika semua tuntutan tentang kesejahteraan guru mulai dikabulkan pemerintah dan tiba saatnya masyarakat mulai menuntut PGRI agar mampu meningkatkan mutu guru dan PGRI lemah di sektor ini.

Paling Mapan

Meskipun PGRI gamang, tetapi diakui atau tidak, dialah satu-satunya organisasi guru terbesar, paling mapan dan berakar di republik ini. Ibarat partai, dia adalah Golkar yang sudah berurat-akar dalam masyarakat. Namun, Golkar cepat membaca tanda zaman dan PGRI terlambat menyikapinya. Kita akan kehilangan aset jika sampai PGRI mati atau dibubarkan.

Ketika Golkar babak-belur dihantam dari semua penjuru dan nyaris jatuh pimpinannya mampu mengubah Golkar dengan elegan menjadi sebuah partai politik dan mampu menggalang para kader petarungnya menjadi ketua di setiap DPD. Partai ini menjadi mesin politik paling efektif untuk memenangkan pemilu. Banyak daerah yang dipimpin oleh kader didikan zaman Golkar dihujat dan me- reka bisa ber- tahan di masa kritis.

Berbeda dengan Golkar, PGRI tidak sempat digebuki oleh masyarakat dan guru, sehingga PGRI tidak dipaksa berubah dan tetap mapan dipimpin oleh kader mapan bermental birokrat yang lamban. Oleh sebab itu, PGRI kurang lincah dan sering terlambat menyikapi perubahan dan tanda-tanda zaman.

Guru Profesional

Karena posisi yang strategis sudah seharusnya PGRI mengubah diri secara total, lebih membuka diri dan merekrut kader guru profesional yang andal, visioner, terampil mengajar, kritis dan independen. Para guru yang memenuhi kriteria tersebut, jangan hanya ribut di luar, tapi hendaknya masuk dan mengubah PGRI yang berkultur birokrat menjadi berkultur profesional, yang hanya loyal kepada visi kemajuan pendidikan anak bangsa. PGRI harus mendorong mereka menjadi pemimpin puncak organisasi. Oleh karena itu para birokrat yang memimpin PGRI sebaiknya diganti dengan kader andal.

Jika rencana besar tersebut dilaksanakan sejalan dengan upaya pemerintah merevitalisasi pendidikan guru, maka penulis yakin hanya dalam kurun waktu 10 tahun PGRI akan mampu menjadi organisasi profesional dan sebesar American Federation of Teachers (AFT), dengan mendirikan banyak kursus keterampilan untuk meningkatkan kompetensi guru.

Penulis adalah aktivis pengembangan guru di The CBE

Baca Selengkapnya......

Korea Saja Bisa, Apalagi Indonesia

Oleh : Koh Young Hun

Tiga puluh tahun yang lalu,
saya mendengar dari profesor saya di ruang kelas bahwa Indonesia
merupakan negara yang berpotensi tinggi, karena sumber daya alam dan
manusianya begitu kaya. Tiga puluh tahun sudah lewat, dan saya sudah
menjadi profesor. Saya masih juga mengatakan kepada murid-murid saya
bahwa Indonesia negara besar dan berpotensi tinggi dengan alasan yang
sama.
Tanggal 19 Desember 2007, rakyat Korea (Korsel) memilih
presiden baru, yaitu Lee Myung-bak (biasa disebut MB) yang akan memulai
lima tahun masa jabatannya pada 25 Februari mendatang. MB berjanji
bahwa dalam masa jabatannya Korea akan lebih maju dengan wawasan 7-4-7,
yang berisikan bahwa 7 persen pertumbuhan ekonomi per tahun, 40.000
dollar AS pendapatan per kapita, dan negara ke-7 terbesar dari segi
ekonominya (sekarang ke-11 terbesar). Pada hemat saya, Indonesia juga
bisa, karena negara ini punya kemampuan.
Ciri utama yang mewarnai
negara berkembang, dan merupakan musuh utama yang harus kita kalahkan,
ialah kebodohan dan kemalasan yang keduanya adalah cikal bakal yang
melahirkan kemiskinan. Karena itu, siapa yang lebih dahulu mampu
menghilangkan dua sifat buruk itu, maka dialah yang akan dengan cepat
dapat meraih kemajuan dan kemakmuran bangsanya.
Dalam teori
pembangunan, sebagaimana ditulis Steven J Rosen dalam bukunya, The
Logic of International Relation, dikenal dua aliran pendapat tentang
sebab-sebab keterbelakangan negara-negara berkembang, di mana kedua
aliran pendapat itu secara prinsip sangat berbeda satu dengan yang
lain. Dalam hal ini, Indonesia dan Korea memiliki pandangan yang sama,
yakni menganut paham tradisional; menganggap bahwa proses pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan di sebagian besar negara terhambat akibat
rendahnya tingkat produktivitas yang berhubungan erat dengan tingginya
kemubaziran dan ketidakefisiensian sosial. Aliran ini berpendapat bahwa
keterbelakangan dan kemiskinan mutlak disebabkan faktor-faktor
internal. Istilah Jawa-nya karena salahe dewe.
Adapun aliran yang
lain, ialah aliran radikal, memandang kemiskinan dan keterbelakangan
suatu negara (terutama negara ketiga) disebabkan oleh kondisi
internasional, yakni adanya eksploitasi negara-negara maju terhadap
negara-negara berkembang. Namun, dalam hal ini saya beranggapan bahwa
teori ini cenderung selalu mencari kambing hitam. Pepatah Melayu-nya,
karena awak tak bisa menari, lantai pula yang disalahkan.

Etos Korea

Kita
semua tahu bahwa Korea dalam kurun waktu relatif singkat telah menjelma
menjadi masyarakat modern, yaitu masyarakat yang telah mampu melepaskan
diri dari ketergantungan pada kehidupan agraris.
Kemajuan Korea
ini telah membuat banyak orang berdecak, terpukau seperti melihat
keajaiban sebuah mukjizat. Para pakar bertanya-tanya, resep apa
gerangan yang telah membuat bangsa yang terubah menjadi negara dan
bangsa yang makmur? Sejak awal tahun 1970-an pihak Pemerintah Korea
dalam rangka semangat pembangunan nasional telah berusaha membentuk
tipe manusia Korea yang memiliki empat kualitas. Pertama, "sikap rajin
bekerja". Lebih menghargai bekerja secara tuntas betapa pun kecilnya
pekerjaan itu, tinimbang pidato yang muluk-muluk tetapi tiada
pelaksanaannya.
Kedua, "sikap hemat", yang tumbuh sebagai buah
dari sikap rajin bekerja tadi. Ketiga, "sikap self-help", yang
didefinisikan sebagai berusaha mengenali diri sendiri dengan perspektif
yang lebih baik, lebih jujur, dan lebih tepat; berusaha mengembangkan
sifat mandiri dan rasa percaya diri. Keempat, kooperasi atau kerja
sama, cara untuk mencapai tujuan secara efektif dan rasional, dan
mempersatukan individu serta masyarakatnya.
Inilah picu laras
yang memacu jiwa kerja bangsa Korea. Bila kita perhatikan, keempat
butir nilai itu sesungguhnya adalah nilai luhur bangsa Indonesia.
"Rajin pangkal pandai..." dan "sedikit bicara banyak kerja" adalah
pepatah yang telah mengakar dalam budaya Indonesia.
Adapun nilai
self-help, mandiri, sudah lama melekat dalam nilai religi sebagian
besar masyarakat Indonesia, karena Tuhan Yang Maha Esa dalam Al Quran
menyebutkan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu
bangsa, kecuali bangsa itu mengubah nasibnya sendiri. Sedangkan setiap
usaha mengubah nasib, baik itu membuahkan hasil ataupun tidak, Islam
telah memberinya nilai tambah; digolongkan pada perbuatan ibadah.
Sementara sifat yang terakhir, kooperasi, adalah sendi-sendi budaya
Indonesia yang amat menonjol. Kooperasi atau gotong royong tetap
dipelihara dan dilestarikan.

Burung Garuda

Sebagai
penutup, saya ingin sedikit mendongeng tentang seekor anak burung
garuda yang tertangkap dan dipelihara oleh seorang pemburu. Dari hari
ke hari dia hanya bermain di halaman rumah; bersama-sama ayam kampung.
Lalu pada suatu hari lewatlah seorang ahli unggas. Sang zoologist itu
terkejut.
"Ah!" pikir sang ahli unggas itu terheran-heran. "Sungguh mengherankan burung garuda itu!" ujarnya kepada pemburu.
"Dia
bukan burung garuda lagi. Nenek moyangnya mungkin garuda, tetapi dia
kini tidak lebih dari ayam-ayam sayur!" balas sang pemburu mantap.
"Tidak! Menurutku dia burung garuda, dan memang burung garuda!" bantah si ahli unggas itu.
Burung garuda ditangkap, lalu diapungkan ke atas udara. Garuda mengepak, lalu terjatuh.

"Betul, kan?" ujar si pemburu. "Dia bukan garuda lagi!"
Kembali
si ahli unggas itu menangkap garuda, dan mengapungkannya lagi. Kembali
garuda mengepak, lalu turun kembali. Si pemburu kembali mencemooh dan
semakin yakin garuda telah berubah menjadi ayam.
Dengan penuh
penasaran si ahli unggas memegang burung itu, lalu dengan lembut
membelai punggungnya, seraya dengan tegas membisikkan: "Garuda, dalam
tubuhmu mengalir darah garuda yang perkasa. Kepakkanlah sayapmu,
terbanglah membubung tinggi, lihatlah alam raya yang luas yang amat
indah. Terbanglah! Membubunglah! " Burung dilepas, dia mengepak. Semula
tampak kaku, kemudian tambah mantap, akhirnya garuda melesat membubung
tinggi, karena dia memang garuda.
Nah, barangkali cerita ini ada
persamaannya dengan bangsa Indonesia. Bukti kejayaan masa lampau telah
membuat mata dunia takjub. Borobudur satu bukti karya perkasa. Kini
camkanlah bahwa Anda sekalian mampu, Anda punya kemampuan. Korea saja
bisa, apalagi Indonesia.

Koh Young Hun

Profesor di Program Studi Melayu-Indonesia,

Hankuk University of Foreign Studies
Seoul, Korea

Baca Selengkapnya......

Baik dan Buruknya Tuhan Yang Maha Tahu

Mendiang Soeharto baru memasuki hidup yang
sebenarnya.. ., apakah nanti enak selama-lamanya atau
tidak enak selama-lamanya ... itu hanya dia dan Allah
swt yang tahu..
Ternyata orang "kuat" indonesia dan dunia kalau sudah
ajal.., yang tidak bisa apa-apa.., meskipun dengan
dukungan alat dan dana yang super.., jika 'Ijaroil
memamggil., hati akan menggigil... ,

Dunia hanya sebatas umur tapi akhirat abadi
selamanya.., Tapi meskipun sedikit dunia menentukan
yang abadi itu..

Yang jelas semua itu adalah menjadi bahan pelajaran
bagi kita..., bahwa hidup yang sebenarnya tergantung
kita sendiri yang menentukan. Semua sudah diatur dan
diberi pedoman dan rambu-rambu langsung dari "yang
punya aturan" lewat nabinya..

Kita sebagai makhluk yang berakal
pasti akan selalu mencari kebenaran yang "pasti".
Benar dan tidak sudah ada dalam Quran, dan itu
kebenaran yang mutlak sampai kiamat..

Memang kita selama ini berkecimpung dalam dunia semu
dan penuh kepalsuan. Baru sadar ketika ajal
menjelang. Dan itu semua menggambarkan maha rahman
dan rahimnya Allah.., kita diberi kebebasan untuk
menentukan mau selamat atau terjerembab.

Semua.. kita semua dapat selamat dan selalu ingat
rambu-rambu Ilahi...,

Baca Selengkapnya......

Santai & Berusaha

Photobucket"
Apapun persoalan yang ada kita harus tetap nyantai dan terus memandang kedepan.

Baca Selengkapnya......

Saturday, January 19, 2008

DETIK-DETIK MENJELANG KEPERGIANNYA MANTAN PRESIDEN SOEKARNO

Jakarta, Selasa, 16 Juni 1970. Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran parkir. Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah
tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.

Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno, tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat
tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.

Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa-dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.

Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu. Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang
paling dicintainya ini.

"Pak, Pak, ini Ega..."

Senyap.

Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.

Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar. Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan
tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.

Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia koma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.

Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.

"Hatta.., kau di sini..?"

Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.

"Ya, bagaimana keadaanmu, No?"

Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.

Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal.

"Hoe gaat het met jou...?" Bagaimana keadaanmu?

Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.

Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.

Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.

Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang
tidak punya nurani.

"No..."

Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.

Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.

Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.

Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.

Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis. Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan
puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.

Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi.

Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.

Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.

Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.

Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi:
Soekarno telah berpulang ke pangkuan sang pencipta

SURIA NATAADMADJA & ASSOCIATES
The East Building, 12th Floor,
Jl. Lingkar Mega Kuningan kav. E.3.2. no. 1,
Jakarta 12950, Indonesia

Baca Selengkapnya......