Tuesday, February 23, 2010

KEMERDEKAAN YANG BERAQIDAH

Awalnya kata Merdeka berasal dari bahasa Sansekerta “Mahardhika” berarti sangat berjaya, berkuasa atau bijaksana. Dalam bahasa jawa kuno arti kata ini bergeser sedikit dan bermakna bijaksana, pandai, terhormat, pendita dan tidak tunduk pada seseorang selain kepada Tuhan atau Raja, maka mulai berarti bebas. Dan dalam bahasa Melayu “Merdika” memperoleh arti bebas, maksudnya bukan budak. Demikian juga J. Gonda dalam Sanskrit in Indonesia, mengungkapkan bahwa Merdeka berarti lepas dari segala ikatan yang tidak layak (unsur negatif), sehingga menjadi bebas untuk menentukan nasib sendiri demi sesuatu yang baik (unsur positif). Sehingga Kemerdekaan bias diartikan sebagai kebebasan.
Kebebasan adalah anugerah dan sekaligus ciri kemuliaan manusia diantara seluruh makhluk Tuhan. Kebebasan merupakan suatu gagasan / konsep yang analog, artinya kebebasan direalisasikan secara fundamental berbeda menurut tingkat keberaaan (manusia, binatang, dll).


Kebebasan sendiri mempunyai arti keadaan bebas. Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata dasar dari kebebasan mengandung beberapa makna, yaitu :
1.Lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dsb sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dsb dengan leluasa).
2.Lepas dari (kewajiban, tuntutan, perasaan, takut dsb).
3.Tidak dikenakan (pajak, hukuman, dsb).
4.Tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan dsb.
5.Merdeka (tidak dijajah, diperintah atau dipengaruhi oleh Negara lain atau kekuatan asing)
6.Tidak terdapat (didapati) lagi

Arti kebebasan dapat dirumuskan secara negative dan positif :
a.Dalam arti negatif berarti bebas dari, misalnya bebas dari ikatan atau paksaan untuk bertindak, yang mengikat / memaksa itu dapat bersifat lahiriah atau materiil (mis. Belenggu) atau dapat bersifat batiniah atau psikologis (mis. Ancaman berat). Kebebasan psikologis atau berkehendak mengatakan bahwa manusia “mampu berkehendak seperti ia kehendaki”, maksudnya kehendak manusia dapat bertahan melawan halangan, paksaan ataupun larangan, sekurang-kurangnya dengan tidak berbuat .
b.Dalam arti positif manusia adalah “bebas untuk” berbuat sesuatu dan khususnya “bebas untuk berbuat baik”.

Kebebasan adalah suatu kemampuan positif, sehingga manusia dengan berbuat dan khususnya dengan berbuat baik (sekurang-kurangnya tidak berbuat jahat) merealisasikan diri menjadi orang yang baik. Inilah tanggung jawab manusia yang utama. Inilah tugas pokoknya. Inilah arti hidup manusiawi. Maka kebebasan untuk berbuat sesuai dengan keyakinan mengenai yang baik dan yang buruk adalah suatu hak asai manusia (kebebasan mengikuti suara hati), yang tidak diberi dan tidak dapat dicabut oleh orang lain, bahkan Negara pun tidak.
Indonesia merupakan Negara hukum. Maka kebebasan seorang warganegara Indonesia tidak boleh dibatasi oleh siapapun termasuk alat-alat pemerintahan selain dalam batas hukum yang berlaku. Azas kebebasan yang menjamin hak-hak dasar para warganegara dijamin oleh UUD 1945 pasal 27-29. walaupun dalam pasal-pasal tersebut hanya beberapa hak dasar ditentukan, namun kebebasan dalam Negara Pancasila harus disadari dan dijamin oleh Sila Perikemanusiaan dan Sila Keadilan. Sebab, UUD 1945 mendasarkan juga kebebasan internasional atas dua sila tersebut : “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan per-keadilan”.
Perlu dipahami bahwa nilai yang paling hakiki bagi manusia, adalah kebebasan. Dan kebebasan itu pula yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Akal pikiran sebagai anugerah dan aset Illahiyah menyebabkan manusia mempunyai kebebasan, sebuah ciri yang khas dari makhluk lainnya. Dalam Al-Qur’an Surat Al Ma’idah ayat20 dijelaskan :

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat lain”.

Hanya saja, banyak orang tidak memahami, dan tidak mengerti secara mendalam hakekat kebebasan tersebut. Mereka menganggap bahwa kebebasan berarti “lepas tanpa ikatan”, sesuatu yang keluar begitu saja, tanpa merasa ada kendala apapun. Sehingga dia boleh semaunya bertindak dan berbuat hanya mengikuti kemauannya sendiri (gugu karepe priyangga / sak karepe udele).
Kebebasan tanpa keterikatan, sama saja dengan binatang yang bergerak lepas menurut insting atau naluri alamiahnya, berbuat sebagaimana adanya, tanpa merasa terikat, tidak mempunyai akal pikiran, tidak mampu membedakan benar dan salah atau rasa susila. CEM. Joad dalam bukunya Philosophy mengatakan “Everything and every creature in the world expect man acts as it must, or acts as it pleases; man alone acts on occasion as ought”(Segala sesuatu serta makhluk yang diciptakan di dunia ini, selain manusia, bertindak sebagaimana yang diharuskannya atau bertindak menurut kesenangannya, sedangkan manusia sajalah yang bertindak sebagaimana seharusnya).
Dengan demikian, manusia menjadi manusia karena keterikatannya dan sekaligus mampu mengendalikan dan mengerti keterikatannya tersebut. Jean Jackues Rosseau mengungkapkan “ Manusia dilahirkan merdeka (bebas), tetapi dimana-mana dia terbelenggu”. Dalam hal ini, yang kita maksudkan dengan belenggu atau keterikatan tidak lain adalah tanggung jawab.
Pokoknya, manusia disebut bebas selama dia terikat, ada komitmen untuk bertanggung jawab. Winston Churchill (1874-1965) negarawan inggris, seorang orator ulung, berkata : “The prince of greatness is responsibility” (mahkota kebesaran adalah tanggung jawab). Manusia tidak mungkin melepaskan diri secara bebas dari berbagai kondisi yang mengikat dirinya, apakah dalam bentuk kondisi biologis, sosiologis, terlebih lagi ikatan kondisi theologies, keyakinan dan keimanan. Karena manusia pada dasarnya adalah makhluk Illahi yang sadar akan keIlahiannya.
Harus dipahami bahwa sisi lain dari makna tanggung jawab adalah bentuk keterikatan manusia di tengah-tengah keberadaannya di dunia. Tetapi janganlah digambarkan bahwa terikat itu seperti seorang pesakitan atau penjahat yang diborgol tangannya.
Yang dimaksud dengan keterikatan di sini, adalah kesadaran manusia atas keterbatasannya. Dia sadar bahwa ada batas-batas yang menyempitkan ruang geraknya, kemauannya, ambisinya dan impiannya. Tetapi dia juga sadar bahwa keterbatasannya tersebut harus diatasi, diarahkan serta dihayati dalam misinya untuk mengisi dan memberi makna hidupnya yang sejati.
Manusia yang bertanggung jawab merasakan bahagia justru karena ada ikatan. Ada komitmen atau dalam istilah agama dikenal sebagai aqidah (aqad = keterikatan, janji, kesepakatan) yang melahirkan berbagai kaidah kehidupan yang mengatur manusia agar dia mampu hidup selaras, serasi dan sehati dengan orang lain.
Dia sadar bahwa dengan adanya ikatan itulah, justru dia merasa menjadi manusia. Dia sadar bahwa dirinya bukanlah binatang yang bebas untuk bebas, melepaskan segala hajat tanpa ada ikatan, tanpa merasa ada sanksi atau kendali-kendali moral. Manusia memang bebas untuk menyatakan kemamuannya, tetapi tentu saja dia pun sadar bahwa dia tidak bisa berbuat semau-maunya. Karena adanya keterbatasan yang membawa resiko kepada dirinya tersebut.
Makna kebebasan sejati mengantongi kewajiban-kewajiban serta tanggung jawab yang membedakan diri manusia dari segala makhluk yang ada. Binatang tidak mengenal kewajiban, karenanya tidak mempunyai tanggung jawab. Seluruh tindakannya adalah insting, sebuah tindakan alamiah, bukan sesuatu yang disengaja, bukan tindakan yang diarahkan secara sadar oleh pikiran dan segenap hati nuraninya. Karena binatang tidak dilengkapi potensi tersebut.
Dalam Islam telah jelas bahwa manusia dipersilahkan untuk menggunakan anugerah kebebasan untuk mencari apa yang telah menjadi karunia Allah di muka bumi ini, setelah manusia tersebut menjalankan kewajibannya beribadah kepada sang Pencipta. Al-Qur’an Surat Al-Jumu’ah ayat 10, memaparkan hal tersebut :


“Apabila telah ditunaikan Shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya beruntung”.

Dengan demikian, makna kebebasan ini berakar dalam kebebasan rohani manusia yaitu sejauhmana dia mampu menguasai dan patuh terhadap hati nuraninya sendiri, terhadap pikiran dan kehendaknya. Seseorang bisa merasakan kebebasan, selama dia bebas untuk menentukan sikap dan tanggung jawabnya. Dia menjadi bebas karena setiap keputusan, pikiran dan tindakannya berasal dari jeritan nuraninya yang kemudian dia nyatakan dengan sadar, tidak dibuat-buat (artificial). Frederick Nietzche, mengatakan : “If you would go high, use your own legs. Do not let your selves be carried up, do not sit on the backs and heads of others” (Kalau ingin menjulang tinggi, gunakanlah kakimu sendiri. Jangan biarkan dirimu dijunjung orang, jangan kau duduk di atas punggung dan kepala orang lain.
Akar kebebasan adalah kemampuan manusia untuk menetukan dirinya sendiri. Kemampuan mengambil tempat dan mengambil keputusan-keputusan tanpa merasa ada hambatan atau tekanan dari pihak luar.

*********

No comments: