Friday, July 9, 2010

Menangis



Sehabis sesiangan beker­ja di sawah-sawah serta disegala macam yang
diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah
Latif rnenga­jak para santri untuk sesering mungkin bershalat malam.

Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat
"iyyaka na'budu..." Abah Latif biasanya lantas menangis tersedu-sedu bagai
tak berpenghabisan.

Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat un­tuk melampaui kata itu,
Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan "wa iyyaka
nasta'in..."


Banyak di antara jamah yang bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk
ke lantai atau meraung-raung.

"Hidup manusia harus ber­pijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar",
ber­kata Abah Latif seusai wirid bersama, "Mengucapkan kata-kata itu dalam
al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam
kehidupan.'Harus' di situ titik beratnya bukan sebagai aturan,melainkan
memang demikianlah hakekat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku
selain di dalam hakekat itu"'.

"Astaghfirullah, astaghfirullah" , geremang turut menangis mulut para­
santri.

"Jadi, anak-anakku" , beliau melanjutkan, "apa akar dan pijakan kita dalam
rnengucapkan kepada Allah iyyaka na'budu?"

"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan
bimbingan Allah itu sendiri, Abah?", bertanya seorang santri.

"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan
kehidupan".

"Belum jelas benar bagiku, Abah".

"Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan
kenyataan".

"Astaghfirullah, astaghfirullah" , geremang mulut para santri terhenti
ucapannya, Dan Abah Latif meneruskan, "Sekarang ini kita mungkin sudah
pantas mengucapkan iyyaka a'budu. Kepada-Mu aku menyembah. Tetapi Kaum
Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata
kepada-Mu kami menyembah, na'budu".

"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita
sebagai diri pribadi serta kita seba­gai umatan wahidah. Ketika sampai di
kalimat na'budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari 'abdullah,
yakni khalifatullah. Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum
Muslimin dalam menyembah Allah di mana penyembahan itu diterjemahkan ke
dalam setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na'budu dalam shalat
mustilah memiliki akar dan pijakan di mana kita Kaum Muslimin telah membawa
urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta
segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku,
betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan
airmata tak bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?"

"Astaghfirullah, astaghfirullah" , geremang mulut para santri.

"Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi
khalifatullah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan
sungguh-sungguh tak berpeng­habisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka
nasta'in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong
kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita
meminta pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam sangat banyak hal kita
lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada
hakekatnya melawan Allah".

"Astaghfirullah, astaghfirullah" , gemeremang para santri.

"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah
perbuatan-perbuatan mu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di
sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia
yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu.
Kemudian peliharalah kepekaan dan kesang­gupan untuk tetap bisa menangis.
Karena alhamdulillah seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan
untuk menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup
mengantarkan kita kepada-Nya". !

Emha Ainun Nadjib,

Panji Masyarakat, 2005

1 comment:

Anonymous said...

Hi, i just want to say hello to the community