Thursday, January 31, 2008

Korea Saja Bisa, Apalagi Indonesia

Oleh : Koh Young Hun

Tiga puluh tahun yang lalu,
saya mendengar dari profesor saya di ruang kelas bahwa Indonesia
merupakan negara yang berpotensi tinggi, karena sumber daya alam dan
manusianya begitu kaya. Tiga puluh tahun sudah lewat, dan saya sudah
menjadi profesor. Saya masih juga mengatakan kepada murid-murid saya
bahwa Indonesia negara besar dan berpotensi tinggi dengan alasan yang
sama.
Tanggal 19 Desember 2007, rakyat Korea (Korsel) memilih
presiden baru, yaitu Lee Myung-bak (biasa disebut MB) yang akan memulai
lima tahun masa jabatannya pada 25 Februari mendatang. MB berjanji
bahwa dalam masa jabatannya Korea akan lebih maju dengan wawasan 7-4-7,
yang berisikan bahwa 7 persen pertumbuhan ekonomi per tahun, 40.000
dollar AS pendapatan per kapita, dan negara ke-7 terbesar dari segi
ekonominya (sekarang ke-11 terbesar). Pada hemat saya, Indonesia juga
bisa, karena negara ini punya kemampuan.
Ciri utama yang mewarnai
negara berkembang, dan merupakan musuh utama yang harus kita kalahkan,
ialah kebodohan dan kemalasan yang keduanya adalah cikal bakal yang
melahirkan kemiskinan. Karena itu, siapa yang lebih dahulu mampu
menghilangkan dua sifat buruk itu, maka dialah yang akan dengan cepat
dapat meraih kemajuan dan kemakmuran bangsanya.
Dalam teori
pembangunan, sebagaimana ditulis Steven J Rosen dalam bukunya, The
Logic of International Relation, dikenal dua aliran pendapat tentang
sebab-sebab keterbelakangan negara-negara berkembang, di mana kedua
aliran pendapat itu secara prinsip sangat berbeda satu dengan yang
lain. Dalam hal ini, Indonesia dan Korea memiliki pandangan yang sama,
yakni menganut paham tradisional; menganggap bahwa proses pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan di sebagian besar negara terhambat akibat
rendahnya tingkat produktivitas yang berhubungan erat dengan tingginya
kemubaziran dan ketidakefisiensian sosial. Aliran ini berpendapat bahwa
keterbelakangan dan kemiskinan mutlak disebabkan faktor-faktor
internal. Istilah Jawa-nya karena salahe dewe.
Adapun aliran yang
lain, ialah aliran radikal, memandang kemiskinan dan keterbelakangan
suatu negara (terutama negara ketiga) disebabkan oleh kondisi
internasional, yakni adanya eksploitasi negara-negara maju terhadap
negara-negara berkembang. Namun, dalam hal ini saya beranggapan bahwa
teori ini cenderung selalu mencari kambing hitam. Pepatah Melayu-nya,
karena awak tak bisa menari, lantai pula yang disalahkan.

Etos Korea

Kita
semua tahu bahwa Korea dalam kurun waktu relatif singkat telah menjelma
menjadi masyarakat modern, yaitu masyarakat yang telah mampu melepaskan
diri dari ketergantungan pada kehidupan agraris.
Kemajuan Korea
ini telah membuat banyak orang berdecak, terpukau seperti melihat
keajaiban sebuah mukjizat. Para pakar bertanya-tanya, resep apa
gerangan yang telah membuat bangsa yang terubah menjadi negara dan
bangsa yang makmur? Sejak awal tahun 1970-an pihak Pemerintah Korea
dalam rangka semangat pembangunan nasional telah berusaha membentuk
tipe manusia Korea yang memiliki empat kualitas. Pertama, "sikap rajin
bekerja". Lebih menghargai bekerja secara tuntas betapa pun kecilnya
pekerjaan itu, tinimbang pidato yang muluk-muluk tetapi tiada
pelaksanaannya.
Kedua, "sikap hemat", yang tumbuh sebagai buah
dari sikap rajin bekerja tadi. Ketiga, "sikap self-help", yang
didefinisikan sebagai berusaha mengenali diri sendiri dengan perspektif
yang lebih baik, lebih jujur, dan lebih tepat; berusaha mengembangkan
sifat mandiri dan rasa percaya diri. Keempat, kooperasi atau kerja
sama, cara untuk mencapai tujuan secara efektif dan rasional, dan
mempersatukan individu serta masyarakatnya.
Inilah picu laras
yang memacu jiwa kerja bangsa Korea. Bila kita perhatikan, keempat
butir nilai itu sesungguhnya adalah nilai luhur bangsa Indonesia.
"Rajin pangkal pandai..." dan "sedikit bicara banyak kerja" adalah
pepatah yang telah mengakar dalam budaya Indonesia.
Adapun nilai
self-help, mandiri, sudah lama melekat dalam nilai religi sebagian
besar masyarakat Indonesia, karena Tuhan Yang Maha Esa dalam Al Quran
menyebutkan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu
bangsa, kecuali bangsa itu mengubah nasibnya sendiri. Sedangkan setiap
usaha mengubah nasib, baik itu membuahkan hasil ataupun tidak, Islam
telah memberinya nilai tambah; digolongkan pada perbuatan ibadah.
Sementara sifat yang terakhir, kooperasi, adalah sendi-sendi budaya
Indonesia yang amat menonjol. Kooperasi atau gotong royong tetap
dipelihara dan dilestarikan.

Burung Garuda

Sebagai
penutup, saya ingin sedikit mendongeng tentang seekor anak burung
garuda yang tertangkap dan dipelihara oleh seorang pemburu. Dari hari
ke hari dia hanya bermain di halaman rumah; bersama-sama ayam kampung.
Lalu pada suatu hari lewatlah seorang ahli unggas. Sang zoologist itu
terkejut.
"Ah!" pikir sang ahli unggas itu terheran-heran. "Sungguh mengherankan burung garuda itu!" ujarnya kepada pemburu.
"Dia
bukan burung garuda lagi. Nenek moyangnya mungkin garuda, tetapi dia
kini tidak lebih dari ayam-ayam sayur!" balas sang pemburu mantap.
"Tidak! Menurutku dia burung garuda, dan memang burung garuda!" bantah si ahli unggas itu.
Burung garuda ditangkap, lalu diapungkan ke atas udara. Garuda mengepak, lalu terjatuh.

"Betul, kan?" ujar si pemburu. "Dia bukan garuda lagi!"
Kembali
si ahli unggas itu menangkap garuda, dan mengapungkannya lagi. Kembali
garuda mengepak, lalu turun kembali. Si pemburu kembali mencemooh dan
semakin yakin garuda telah berubah menjadi ayam.
Dengan penuh
penasaran si ahli unggas memegang burung itu, lalu dengan lembut
membelai punggungnya, seraya dengan tegas membisikkan: "Garuda, dalam
tubuhmu mengalir darah garuda yang perkasa. Kepakkanlah sayapmu,
terbanglah membubung tinggi, lihatlah alam raya yang luas yang amat
indah. Terbanglah! Membubunglah! " Burung dilepas, dia mengepak. Semula
tampak kaku, kemudian tambah mantap, akhirnya garuda melesat membubung
tinggi, karena dia memang garuda.
Nah, barangkali cerita ini ada
persamaannya dengan bangsa Indonesia. Bukti kejayaan masa lampau telah
membuat mata dunia takjub. Borobudur satu bukti karya perkasa. Kini
camkanlah bahwa Anda sekalian mampu, Anda punya kemampuan. Korea saja
bisa, apalagi Indonesia.

Koh Young Hun

Profesor di Program Studi Melayu-Indonesia,

Hankuk University of Foreign Studies
Seoul, Korea

No comments: