Saturday, March 27, 2010

Jujur Pada Diri Sendiri, Proses Therapy Perasaan Gak Enakan

Semoga hari yang berhagia ini, semakin menambah nilai-nilai kebaikan bagi kita. Mudah-mudahan setiap detik sejarah telah terukir dalam simpanan energi semesta, Menjadikan kita lebih berkarakter mulia. Diantaranya semakin bertambah kejujuran baik kepada diri sendiri atau kepada orang lain.

Seorang shahabat saya menjadikan “Keputusan yang dibuat manusia / diambil oleh seseorang mempengaruhi kehidupan orang lain” sebagai tema penelitian ilmiahnya. Tema yang sederhana, tapi memiliki makna yang dalam, jika kita kaji dari ranah spiritual.

Tema diatas mengingatkan saya tentang tujuan penciptaan manusia yang Allah terangkan di Al-Baqarah : Kahlifah. Sebagai khalifah wajib menyadari akan keputusan-keputusan yang diambil untuk menyeimbangkan kehidupan dunia.


Sementara itu, saat saya menuliskan note yang sedang anda baca sekarang. Terbesit sesuatu dalam fikiran saya. Itu tatkala merenungi tentang makna kejujuran. Mungkin anda pernah mendengar judul sebuah buku ”Jujur mata uang yang hilang” atau mungkin kata bijak yang lain berhubungan dengan kejujuran.

Sebuah pertanyaan kontemplasi bagi diri, Sudahkah saya jujur?. Saya tidak tau bagaimana dengan prinsip hidup anda. Apakah anda senang dengan kejujuran? Saya yakin dan percaya, kejujuran adalah pengantar kepada pintu kepercayaan.

Berbohong pada diri sendiri

”Hindari bohong, Jujurlah pada diri sendiri”. Nasehat yang saya dapatkan dari Tengku di di menasah saat belajar membaca Al-Qur’an, dan mengaji kitab Masailal Muhtadin dan Tanbiqhul Ghafilin. Bahkan juga diulang-ulang oleh ustaz saya di Ma’had Ruhul Islam.

Ibda binafsik, mulai dari diri sendiri. Pesan Rasulullah untuk melakukan perubahan. Sekarang saya sadari, ini awal dari kemuduran dan gelapnya hati. Demi membahagiakan orang lain, sudi kiranya membohongi diri sendiri. Agar menyenangi teman, rela berkata tidak sesuai dengan hati. Supaya membahagiakan shahabat, mengikhlaskan penderitaan diri.

Bukan persoalan salah dan benar, Melainkan cara menyikapi dan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Guru saya di Pondok Pesantren NLP Pasar Minggu. Sering membingkai pembelajaran demikian.

Jujur adalah pintu kesadaran dan hakekat kesuksesan hidup.

Mungkin ”Katakan kebenaran, walau itu pahit (sakit untuk didengar, sulit diterima atau bahkan ditolak)” adalah penjabaran dari anjuran berlaku Jujur pada diri sendiri. Ada hal-hal menarik yang saya temukan, saat membantu shahabat menyelesaikan persoalannya. Yang kini menjadi pembelajaran hidup.

Ada keluhan ingin berlari dari hiruk pikuk tuntutan target pekerjaan. Ada juga seorang bapak-bapak berucap, Saya mau merdeka dari tuntutan orang lain. Pernah juga teman menyampaikan, Aku ingin orang tua mengerti kemauanku. Saya sendiripun dulu pernah bertanya, Sampai kapan saya harus mengikuti kemauan bukan diri saya sendiri.

Seorang wanita tidak mampu menolak menerima calon suami dari ayah ibunya. Pernah juga, seorang teman lelaki, melepaskan wanita yang dicintainya demi membahagiakan ibunya dengan menikahi wanita bukan pujaan hatinya. Tidak sedikit, saya berjumpa dan mendengar curhatan para pekerja, yang beraktivitas bukan pada bidang yang disukainya.

Pakar kejiwaan pernah bertutur ”Orang-orang yang bekerja pada bidang yang dia cintai dan senangi, memiliki kesempatan hidup lebih lama”

Guru saya bapak Noeryanto, Pengasuh Pondok Pesantren NLP Pasar Minggu mengingatkan ”Saat ayam (binatang) memahami kodratnya sebagai ayam, dan manusia memahami kodratnya sebagai manusia (khalifah). Maka keseimbangan alam terjadi. Itulah mamfaat KESADARAN”

Dari kejadian dan peristiwa diatas. Saya menemukan satu hal, bahwa Jujur kepada diri sendiri bisa sebagai proses Therapy Perasaan Gak Enakan.

Sekali lagi, ini bukan persoalan Salah atau benar, melaikan cara menyikapi dan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Mungkin, shahabat saya mengambil tema penelitiannya “Keputusan yang dibuat manusia / diambil oleh seseorang mempengaruhi kehidupan orang lain” atas dasar kontemplasi diri yang amat dalam. Terlepas dari itu semua, hadir pertanyaan kontemplasi diri ; Sampai kapan saya berlaku Bohong dan Tidak jujur pada diri sendiri?

Wallahu’alam
RAHMADSYAH, CM.NLP
Motivator & Mind-Therapist I 081511448147 YM;rahmad_aceh
www.facebook. com/rahmadsyah
Bogor 23 Maret 2010

Baca Selengkapnya......

INDAHNYA HARIKU

Ku jelang pagi ini, dengan senyum penuh ketulusan
Kan kujalani hari ini dengan semangat penuh keikhlasan
Mencoba membuka mata, membuka hati, mencoba menguntai kata
Begitu luas hamparan untukku mewujudkan mimpi hati

Biarlah kugantungkan segala asa yang ada pada cakarawala
Biarlah ku jaga rasa cinta yang ada dalam indahnya balutan awan putih
Hingga dengannya kan gapai segala doa
Dan bersamanya hidup semakin ku rasa bahagia

Teduhnya warna biru berhias awan putih tanpa batas
Hijau rumput laksana permadani pelengkap teman mimpi
Canda kicau burung di sela kepakan sayap yang melintas di langit bebas
Bisikan angin yang bertiup begitu memanjakan
Sungguh membuaiku dalam pelukan alam luas

Tuhan ...
Ku bahagia atas nikmat-Mu
Ku bersyukur atas karunia-Mu

Biarlah semua ini tetap bisa kumiliki
Ijinkan semua ini tetap bisa aku nikmati
Karena Kau tau, saat semua itu tak lagi menemaniku
Hariku akan berubah menjadi sepi tanpa arti
-------Catatan Mohammad Zuher-------

Baca Selengkapnya......

Wednesday, March 24, 2010

Fenomena Koruptor Religius

*ADA* fakta ganjil yang sudah lama berlangsung di Indonesia: agama
sering menjadi selimut atau topeng untuk me­nutupi tindakan korupsi.
Misalnya, kaum koruptor tampak rajin melaksanakan ritual agama dengan
melibatkan tokoh-tokoh agama dan masyarakat sekitarnya seperti
menyelenggarakan acara doa bersama atau acara syukuran.

Bahkan, ketika membangun rumah, banyak koruptor yang tidak lupa
membangun tempat ibadah di lingkungan tempat tinggalnya. Jika dicermati
lebih serius, tidak ada koruptor di Indonesia yang tidak beragama.
Karena itu, ada pertanyaan yang layak diutarakan: kenapa seseorang bisa
menjadi koruptor sekaligus rajin beribadah? Adakah hubungan antara agama
dan korupsi?

*Kamuflase *

Bagi kaum moralis, fenomena koruptor yang rajin beribadah mungkin akan
dipandang sebagai bentuk pelecehan terhadap agama. Dalam hal ini, para
ko­ruptor sengaja memfungsikan agama se­bagai kamuflase atas
kejahatannya. Tentu saja, fenomena demikian bukan hal yang aneh dan baru
dalam sejarah agama-agama.

Seperti dalam Islam, sejak awal ma­sa perkembangannya, stigma munafik
te­lah diperkenalkan. Stigma itu diberi­kan kepada orang yang sengaja
mem­fung­sikan Islam hanya sebagai kamu­fla­se. Dalam Islam, orang
munafik di­anggap musuh paling berbahaya ba­gi kaum muslimin. Ibarat
musuh dalam sa­tu selimut yang selalu siap mencela­ka­­kan kapan saja.
Dengan demikian, da­lam Alquran maupun hadis, banyak disebutkan bahwa
kaum munafik ada­lah kaum yang sangat dikutuk oleh Allah SAW.

Jika faktanya sekarang di Indonesia banyak koruptor yang beragama Islam,
agaknya layak diduga, mereka tergolong kaum munafik. Bila mereka per­nah
atau sedang menjadi pejabat-pejabat penting, bangsa dan negara
Indonesia, sepertinya, juga layak ditengarai se­bagai ikut-ikutan
terkutuk, dengan bukti seringnya terjadi bencana atau tra­gedi kemanusiaan.

Banyaknya fakta bahwa para koruptor rajin beribadah, khususnya
menga­da­kan acara doa bersama atau acara syukuran, ada kesan bahwa para
pemuka agama seolah-olah ikut mengamini tindakan korupsi. Kesan tersebut
bisa saja menyakitkan, tapi agaknya tetap layak diungkapkan. Sebab, itu
didukung fakta yang cenderung semakin fenomenal.

Fenomena memfungsikan agama sebagai kamuflase serta kemunafikan para
koruptor sering sangat mudah dilihat setiap menjelang kampanye pe­milu
(dan belakangan pilkada). Misalnya, betapa banyak elite politik yang
terindikasi korup berlomba-lom­ ba merangkul pemuka-pemuka agama. Betapa
banyak elite politik yang terindikasi korup berlomba-lomba memberikan
sumbangan dana pembangunan fasilitas peribadatan atau sarana pendidikan
agama. Dalam hal ini, semua pe­muka agama justru gembira (dan tidak ada
yang keberatan atau sekadar mengkritik perilaku munafik).

Karena itu, wajar-wajar saja jika ada yang bilang bahwa pemuka-pemuka
agama sekarang akan senang-senang saja menerima sumbangan dana meski si
pemberi jelas-jelas seorang koruptor!

*Kontradiksi *

Beberapa tahun lalu, dari lingkungan sebuah organisasi keagamaan, muncul
fatwa bahwa koruptor yang meninggal dunia tidak wajib disalati.
Pasalnya, koruptor identik dengan munafik. Fatwa demikian selayaknya
menjadi otokritik. Sebab, selama ini banyak koruptor yang gemar
mendatangi kiai-kiai untuk memberikan sumbangan dana pembangunan masjid
dan pondok pesantren. Mereka bermaksud mendapatkan dukungan politik dari
kiai dan pengikut mereka.

Adanya fatwa dan perilaku kemunafikan tersebut tentu saja merupakan
kontradiksi yang bisa saja akan membingungkan masyarakat awam. Bagaimana
mungkin pemuka agama bisa akur dengan koruptor?

Dengan demikian, agaknya, juga perlu segera ada fatwa baru untuk
menjelaskan kontradiksi tersebut, agar ke depan tidak semakin
membingungkan masyarakat awam. Sejauh ini, kontradiksi itu memang belum
pernah dikaji secara serius oleh komunitas-komunitas keagamaan di
Indonesia. Bahkan, belum ada pemuka agama yang mempersoalkan kontradiksi
tersebut secara terbuka. Dengan begitu, hal ini pun kemudian mengundang
pertanyaan baru: benarkah telah terjadi kompromi antara koruptor dan
kalangan pemuka agama, karena sebagian hasil korupsi digunakan untuk
mendanai kepentingan pengembangan agama?

*Revitalisasi Agama *

Fenomena semakin merajalelanya korupsi cenderung dibiarkan oleh
pemuka-pemuka agama karena, sepertinya, telanjur dianggap bukan masalah
yang perlu dipersoalkan lagi. Jika kini sejumlah perangkat hukum yang
ada tidak bisa memberantasnya, sepertinya, perlu dilakukan upaya-upaya
alternatif. Misalnya, melakukan revitalisasi agama oleh kalangan pemuka
agama. Langkah-langkahnya sebagai berikut. Pertama, memandirikan semua
organisasi keagamaan di Indonesia dengan menerapkan sikap tegas untuk
tidak menerima sumbangan dana dari pihak-pihak yang terindikasi korup.

Kedua, pemuka-pemuka agama menolak terlibat dalam politik praktis dengan
cara tidak bergabung atau sekadar bersimpati kepada kekuatan politik
yang korup. Dalam hal ini, pada saat menjelang pemilu atau pilkada,
pemuka agama harus netral dan tidak mendukung secara langsung maupun
tidak langsung yang menguntungkan para koruptor.

Ketiga, mengembangkan sikap kritis masyarakat terhadap indikasi-indikasi
korupsi agar tidak memberikan dukungan politik kepada siapa pun yang
terindikasi korup.

Keempat, pemuka agama serta umat beragama segera memutuskan hubungan
dengan semua pejabat negara yang terindikasi korup. Dalam hal ini,
menolak tegas undangan doa bersama atau acara syukuran yang
diselenggarakan oleh pejabat negara yang terindikasi korup. Dengan cara
demikian, ada kemungkinan kaum koruptor tidak semakin ugal-ugalan
menjadikan agama sebagai kamuflase.

Dengan revitalisasi agama, fenomena koruptor tampak religius yang
identik dengan merajalelanya kaum munafik dalam melakukan korupsi
berjamaah mungkin akan segera dapat dikikis habis. (*)

* /*). Anita Retno Lestari/ * /, direktur Lembaga Studi Humaniora/


Baca Selengkapnya......

DINDING YANG KOSONG

.... kisah yang sangat layak untuk disimak Ada dua orang pasien pria yang menderita sakit parah. Mereka dirawat di rumah sakit yang sama. Pria pertama diizinkan duduk di tempat tidurnya setiap sore selama satu jam. Tujuannya adalah agar cairan dari paru-parunya bisa dikeluarkan.

Tempat tidurnya terletak di dekat satu-satunya jendela yang ada di kamar itu.

Sedang pria yang kedua harus selalu berbaring dalam keadaan terlentang. Karena di antara dua tempat tidur ada dinding pemisah yang cukup tinggi, pria yang tidur terlentang tidak bisa melihat ke jendela.

Kedua orang pria tersebut sering mengobrol. Macam-macam hal yang mereka bicarakan. Dari mengenai istri, keluarga, rumah, pekerjaan, wajib militer sampai tempat-tempat yang dikunjungi saat liburan.

Sore hari, saat pria yang menempati tempat tidur dekat jendela diizinkan duduk, dia bercerita ke teman sekamarnya. Ia melaporkan apa-apa yang dilihatnya di balik jendela.

Pria yang hanya bisa terlentang lama-kelamaan bisa menikmati cerita temannya. Selama satu jam sehari, cara pandangnya diperluas dan dihidupkan kembali dengan mendengarkan tentang kegiatan dan warna-warni dunia luar. Jendela itu menghadap ke sebuah taman.

Di taman itu juga ada sebuah danau yang indah dengan bebek-bebek dan angsa-angsa yang berenang di atasnya. Anak-anak bermain dengan mainan kapal layarnya.

Pasangan suami isteri yang sedang dimabuk asmara berjalan sambil bergandengan tangan di antara bunga-bunga yang berwarna-warni bagaikan warna pelangi. Beberapa pohon besar tumbuh di atas rerumputan. Pemandangan indah kota terlihat dari kejauhan.

Pria yang berada di dekat jendela menceritakan semua ini dengan amat rinci. Pria yang mendengarkan, menutup matanya sambil membayangkan pemandangan- pemandangan yang dituturkan rekannya.

Di suatu hari yang cukup terik, pria yang menempati tempat tidur dekat jendela melaporkan tentang sebuah pawai yang lewat di sana.

Pria yang kedua tidak bisa mendengar musik bandnya. Namun, dia bisa melihat mereka dengan mata batinnya. Ia seakan melihat badut-badut yang menari-nari, bendera yang berwarna-warni serta mobil dan kuda yang dihias.

Hari pun berlalu. Di dalam hati pria yang tidak bisa melihat ke jendela diam-diam timbul rasa iri atas cerita-cerita yang disampaikan oleh teman sekamarnya, karena dia ingin sekali melihat sendiri semua yang diceritakannya.

Dia pun mulai membenci teman sekamarnya, karena dia ingin sekali melihat sendiri semua yang diceritakannya. Dia pun mulai membenci teman sekamarnya dan merasa frustasi. Dia juga ingin menempati tempat tidur di dekat jendela!

Pada suatu pagi seorang juru rawat masuk ke kamarnya. Pria yang ditempatkan di dekat jendela ditemukan meninggal dengan tenang pada saat tidur. Dengan rasa sedih dia memanggil pegawai rumah sakit untuk memindahkan jenazahnya.

Setelah dianggap tepat waktunya, pria yang masih dirawat menanyakan apakah dia bisa dipindahkan ke tempat tidur dekat jendela. Perawat tidak berkeberatan untuk memindahkannya dan setelah yakin pasiennya dalam posisi yang aman, dia meninggalkannya sendirian.

Pelan-pelan, sambil menahan rasa sakit, dia berupaya mengangkat tubuhnya dengan satu siku lengannya untuk melihat pertama kalinya dunia di luar jendela. Ia pikir, akhirnya dia bisa juga menikmati kebahagiaan saat melihat taman di luar dan semua kegiatan yang ada. Dia berusaha untuk melongok..

Namun ia menjadi amat terkejut karena ternyata yang dilihatnya hanya dinding yang kosong. Dia segera memanggil suster dan bertanya, “Bagaimana teman sekamar saya bisa melihat semua yang diceritakannya kepada saya? Bagaimana dia bisa menceritakan kepada saya tentang segala keindahan sampai yang sekecil-kecilnya, padahal saya hanya melihat dinding batu bata yang kusam!

”Perawat itu menjawab, “Lho, memang Bapak tidak tahu? Mantan teman sekamar Bapak kan buta, jadi dinding pun tidak mungkin bisa dilihatnya.” Kemudian sang perawat menambahkan, “Mungkin dia hanya ingin membesarkan hati Bapak saja.

”Apakah Anda bisa merasakan emosi yang terkandung dalam cerita ini?

Apakah pernah terpikir oleh Anda untuk menukar posisi Anda dengan posisi orang lain karena merasa iri kepada orang tersebut.

Apakah Anda pernah merasa demikian kecewa,misalnya Anda menyangka sesuatu itu begitu indah, tetapi kenyataannya tidak seperti yang Anda bayangkan?

Apakah Anda pernah diberi kata-kata pemberi semangat, tetapi Anda tidak pernah mau mensyukurinya?

Kalau hidup Anda terobsesi oleh segala yang dimiliki orang lain, maka Anda tidak merasakan indahnya hal-hal yang akan diberikan oleh orang lain kepada Anda.

Di zaman sekarang ini banyak sekali orang yang ingin memiliki apapun yang dimiliki orang lain. Ingin suami atau istri seperti yang dimiliki orang lain, ingin pekerjaan seperti pekerjaan orang lain, ingin penghargaan seperti yang telah diterima orang lain, ingin popularitas seperti yang diraih oleh orang lain, rumah yang dimiliki orang lain, posisi yang dimiliki oleh orang lain.

Sering pula mereka ingin hal-hal yang mereka anggap ada di dalam diri orang lain. Misalnya, kebahagiaan, rasa memiliki tujuan, kedamaian pikiran, rasa cinta dan kenyamanan. Yang sebenarnya adalah bahwa di setiap situasi pasti ada masalah, di setiap kehidupan pasti ada rintangan, di setiap hubungan pasti ada kesulitan, di setiap kesempatan pasti ada tantangan atau masalah yang berat.

Pada dasarnya, pada setiap aspek yang positif selalu ada tandingannya yang bersifat negatif. Karena itu, tidak mungkin ada orang yang bebas dari masalah kehidupan.

Kalau begitu, bagaimana sikap kita dalam menghadapi hal ini?#

Jadilah orang yang PANDAI BERSYUKUR untuk apa yang SUDAH ANDA MILIKI saat ini.#

Bersikaplah POSITIF atas semua keadaan, karena KEBAHAGIAAN itu BUKAN DI LUAR DIRI tetapi ADA di DALAM DIRI. (Dari buku ‘Piano on the Beach’ karangan Jim Dornan)
Sent from my BlackBerry®

Baca Selengkapnya......